Chapter 5

20.2K 308 2
                                    

Selamat pagi untuk keringat!

Ben memutuskan untuk mengakhiri sesi joggingnya pagi ini ketika pagar rumahnya mulai tampak dari kejauhan. Tinggal beberapa meter lagi untuk sampai di istananya dan cowok itu mengayunkan langkah-langkah santai. Rasanya sudah cukup jogging untuk hari ini. Apalagi matahari juga mulai merangkak naik dan sinarnya telah membuat kulit Ben memerah. Ia bisa jadi sehitam ayam panggang gosong jika terlalu lama bercengkerama dengan sinar matahari. Dan Ben benci jika kulitnya terbakar matahari.

"Hei, Bro!"

Di saat Ben sedang sibuk mengusap peluh yang berjatuhan dari kedua pelipisnya, sebuah sapaan akrab menyapa gendang telinganya. Jenis suara itu sudah terekam dengan baik dalam memori otaknya, hanya saja Ben lupa untuk menghitung kapan terakhir ia mendengarnya. Mungkin dua atau tiga hari yang lalu.

Yongki, sahabat Ben sejak kanak-kanak, mendadak muncul dari belakang punggung Ben lalu menepuk pundak cowok itu. Dan ia telah berhasil membuat Ben kaget bukan kepalang.

"Beberapa hari ini nggak kelihatan, ke mana aja?" tegur Yongki sembari menjajari langkah Ben. Mereka biasa jogging bareng sejak Ben kembali ke Indonesia.

"Aku kesiangan, Bro," sahut Ben sekenanya.

Yongki tergelak mendengar jawaban Ben.

"Tumben kesiangan, biasanya dulu kamu yang paling rajin di sekolah," olok Yongki mengenang masa-masa sekolah mereka berdua.

"Yeah, dulu aku memang murid teladan disekolah," celutuk Ben mengingatkan. "Nggak seperti kamu yang suka telat dan sering bolos," lanjut cowok itu terang-terangan menyindir sahabatnya.

Yongki terbahak kembali mendengar sindiran Ben. Apa yang dikatakan Ben memang benar adanya. Kenakalan semacam itu bukan hal yang baru lagi di dunia pendidikan negeri ini.

"Itu kan masa lalu, Bro," sahut Yongki sedikit malu. "Yang penting jangan sampai anak-anak kita kelak meniru kelakuan ayahnya. Benar nggak?"

"Anak kamu kali, bukan anakku ..." sela Ben sedikit sewot. Yang sering telat dan suka bolos kan Yongki, terang saja Ben tidak mau disangkutpautkan soal masa depan anak-anak mereka.

Dan keduanya terbahak serempak.

"Oya, Bro ...," ucap Yongki beberapa saat kemudian. "dengar-dengar kamu mau nikah, ya? Kapan? Kok mendadak banget? Ada apa nih?" serbu Yongki seperti serombongan gerbong kereta yang baru saja keluar dari stasiun. Ia melirik curiga ke arah Ben.

Ben langsung mengarahkan tinjunya ke arah pangkal lengan Yongki dengan gerakan spontan. Memaksa sahabatnya itu harus merasakan sakit di area bekas tinju Ben bersarang.

"What's wrong with you?" tanya Yongki menunjukkan sedikit kosakata bahasa Inggris yang dikuasainya. Semenjak Ben kembali, ia merasa ketularan sindrom bule. Meski dulu saat sekolah nilai Bahasa Inggrisnya selalu dibawah angka enam, tapi kemampuan Yongki sekarang sudah jauh lebih baik. "Apa pertanyaanku masih kurang banyak?" tanya Yongki belum puas menggoda sahabatnya.

"Kamu mau ini lagi?" Ben mengepalkan tinjunya dan mengarahkan tepat di depan wajah Yongki.

"Ampun, Ben," kekeh Yongki sama sekali tidak menampilkan tampang serius. Ia paham betul jika Ben hanya menggertak. Kalau ia serius, pasti akan langsung meninju wajah Yongki tanpa basa basi.

"Siapa yang bilang aku mau menikah?" tanya Ben balik. Ia menghentikan langkah persis di depan pintu gerbang rumahnya.

"Hmm ... aku hanya asal tebak, kok," sahut Yongki sembari mengulas senyum jail.

"Oh ... jadi kemampuan supranaturalmu masih berfungsi ya?" sindir Ben.

"Yang benar? Jadi, tebakanku nggak meleset, dong?" sahut Yongki girang sekaligus takjub. "Benar kamu mau nikah?" tanya Yongki sekali lagi. Kali ini untuk memastikan hasil tebakannya benar atau salah. Karena tampang Ben masih meragukan.

Ben menggeleng.

"Nggak juga," sahut Ben sembari menghela napas panjang. "Aku dijodohkan, Bro," tandas Ben pelan. Jujur. Padahal sebelumnya ia sama sekali tidak berencana untuk menceritakan perihal perjodohannya dengan Anne pada siapapun. Tapi ia terlanjur keceplosan tadi.

Tawa Yongki meledak. Pecah berantakan.

"Ini nggak lucu, Bro," tandas Ben kecewa sekaligus tersinggung melihat tawa di wajah Yongki yang tak kunjung reda. "Tahu gitu harusnya tadi aku nggak cerita," sesalnya tiba-tiba.

"Okay. Okay," sahut Yongki sambil mengangkat kedua telapak tangannya ke udara. Rasanya sulit untuk meredam ledakan tawa di bibirnya, tapi ia berusaha melakukan hal itu demi kelanggengan hubungan persahabatannya dengan Ben. "Ini memang nggak lucu, tapi, terdengar sedikit kuno. Yeah, untuk orang yang hidup di zaman sekarang di mana medsos berkembang begitu pesat, perjodohan sudah nggak relevan lagi. Tapi masa sih, Papa kamu main jodoh-jodohan?" Yongki sampai mengerutkan keningnya dalam-dalam.

Ben mendesah pelan. Tak mau berkomentar apapun. Takutnya Yongki akan menertawakan dirinya dan Ben bisa kehilangan semangat untuk melalui hari ini.

"By the way ... is she beautiful?" tanya Yongki beberapa saat kemudian. Karena Ben tak menanggapi ucapannya. Jadi ia berusaha untuk mencari sebuah pertanyaan untuk memancing respon sahabatnya.

"Not bad ..."

"Not bad?" Yongki menaikkan kedua alisnya kali ini. "Maksudnya?"

"Dia nggak cantik dan nggak jelek," ucap Ben membuat sahabatnya dobel bingung. Tapi Ben suka melihat Yongki kebingungan karena ia akan tampak sangat bodoh.

"Maksudnya?" ulang Yongki sekali lagi karena ia belum paham maksud perkataan Ben. Tidak cantik dan tidak jelek. Berarti tengah-tengah, kan? Mungkin Ben saja yang kurang pandai menilai penampilan seseorang, duga Yongki.

"Dia biasa aja, Bro," kata Ben kemudian. "Nggak secantik yang ada di drama-drama Korea gitu," jelasnya lagi.

"Yaelah, Bro ..." sahut Yongki sambil menepuk jidatnya sendiri. "Jangan membandingkan cewek Indo dengan cewek Korea dong. Mereka cantik karena mereka operasi plastik. Kalau cewek Indo kan cantiknya natural, masih alami, asli ciptaan Tuhan. Tapi, kenapa kamu jadi membahas drama Korea, sih? Kamu kena sindrom drama fever?" tanya Yongki dengan mata mendelik. Antara penasaran dan curiga.

"Bukan," tepis Ben secepat kilat. Jangan sampai Yongki berpikiran kalau dirinya menggilai drama Korea seperti mayoritas remaja dan ibu rumah tangga di luar sana. "Mamaku," jelasnya kemudian.

"Oh ... kirain."

"Memangnya kamu kira apa, heh?"

"Ya udah kalau gitu. Aku balik dulu. Udah siang nih," pamit Yongki memutus percakapan seru di antara mereka berdua. Cowok itu menepuk pundak Ben sebelum akhirnya melangkah pergi dari tempatnya berdiri. Dan Ben hanya tertegun sembari melepas kepergian sahabatnya dengan tatapan mata kesal. Namun, sesaat kemudian ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah karena sinar matahari semakin garang membakar kulit.

•••

Perjodohan Romantis# Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang