Chapter 16

13.8K 238 0
                                    

Ternyata perubahan dalam diri Anne tak hanya sebatas itu saja. Mungkin gadis itu sedang berusaha keras untuk bangkit dan benar-benar menata hidupnya kembali. Tak sekadar hanya menjalani rutinitas sehari-hari agar tampak seperti manusia normal lain. Atau mungkin juga ia memaksakan dirinya untuk berubah demi Ben. Karena ucapan-ucapan Ben yang menusuk tepat di hatinya, menggugah nurani gadis itu. Tapi, yang pasti Anne sedang berjuang untuk melupakan Niel meski tampaknya akan sedikit sulit. 

Perubahan yang paling menonjol dari Anne selain balon-balon dan panti adalah gadis itu sudah menyingkirkan foto-fotonya dan Niel dari kamar pribadinya. Saat diberitahu mengenai hal ini Ben sangat terkejut. Bahkan cowok itu sampai mematung beberapa saat lamanya.

Apa benar Anne melakukan hal itu? Kenapa? Apa alasannya? Apa demi Ben?

Sederet pertanyaan berbaris rapi di dalam kepala Ben mirip gerbong kereta api. Cowok itu nyaris kehilangan akal dan kata-kata begitu mendengar keterangan dari Ibu Anne yang terus berceloteh tentang putrinya.

"Ya, Anne sudah banyak berubah, Ben. Tante juga sangat kaget melihat perubahan sikapnya. Tapi, Tante senang karena Anne sudah lebih banyak tersenyum sekarang," papar Ibu Anne kembali mengabarkan satu lagi perubahan pada diri gadis itu.

"Oh, ya?" gumam Ben masih belum sepenuhnya tersadar kalau yang didengarnya memang suara Ibu Anne. Dan tidak mungkin wanita itu berbohong soal Anne.

"Apa kamu tahu kenapa dia berubah tiba-tiba seperti itu?"

Ben menggelengkan kepalanya penuh keraguan, tapi sedetik kemudian ia tersadar bahwa Ibu Anne ada di kejauhan sana dan mereka berkomunikasi via telepon saat ini. Tidak mungkin wanita itu bisa melihat gelengan kepalanya.

"Saya nggak tahu, Tan," tandas Ben kemudian. Meski di dalam kepalanya terlintas satu dugaan, tapi ia belum berani mengutarakannya pada Ibu Anne. Ya kalau dugaannya benar, kalau salah bagaimana?

"Apa karena kamu?" tebak Ibu Anne sejurus kemudian.

Ben terenyak. Ibu Anne terlalu sensitif, batinnya. Dan tebakannya bisa jadi benar. Ben tidak sekadar mengada-ada karena cowok itu over confident, tapi faktanya Anne berubah setelah mengenal dirinya, kan?

"Saya nggak sehebat itu, Tan," gelak Ben sesaat kemudian.

"Kenapa nggak?" Ibu Anne menyahut dengan cepat. Ia merasa hal itu tidak lucu seperti anggapan Ben. "Bisa saja Anne jatuh cinta sama kamu, Ben."

Jatuh cinta?

Ben terdiam. Cowok itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Pandangannya langsung menerawang ke atas.

Jika Anne memang berubah karena dirinya, itu bukan karena gadis itu sedang jatuh cinta pada Ben. Tapi ia menganggap Ben adalah seseorang yang dikirim Tuhan untuk menjadi teman Anne. Tak lebih. Apa mungkin seseorang bisa langsung jatuh cinta setelah sempat bunuh diri karena ditinggal mati kekasihnya? Mustahil!

"Ben, kamu masih di sana, kan?"

"Ya ... ya, Tan." Ben tergagap dan mengembalikan tatapannya ke atas meja.

"Jika memang benar Anne berubah karena kamu, Tante minta jaga dia baik-baik. Kamu bisa kan, Ben?"

Ben menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sebenarnya tanpa diminta sekalipun, ia akan menjaga Anne baik-baik dan Ben melakukannya dengan sukarela. Tapi, bagaimana perasaan Anne yang sesungguhnya pada Ben? Dan bagaimana soal pertemanan yang ditawarkan gadis itu padanya? Sungguhkah ia hanya akan menganggap Ben sebagai teman?

"Baik, Tante," ucap Ben pada akhirnya. Dan Ibu Anne mengakhiri perbincangan mereka via telepon beberapa detik kemudian.

Apa cinta tulus Ben hanya akan dibalas dengan pertemanan?

Cowok itu melanjutkan lamunan kecilnya setelah meletakkan ponsel di atas meja. Sungguh, ia malah bingung menghadapi perubahan sikap Anne yang terlalu tiba-tiba, meski pada awalnya ia merasa senang dengan hal itu. Andai saja Anne mau sedikit mengerti bahwa yang diinginkan Ben bukanlah sebuah pertemanan, tapi sebuah hubungan yang lebih dari sekadar teman. Cinta. Ya, Ben ingin cinta dari Anne, meski secuil saja. Lebih juga boleh.

"Nggak pulang Ben?"

Teguran Papa seketika membuyarkan gelembung-gelembung lamunan di dalam kepala Ben hingga beterbangan ke awang-awang dan pecah tak bersisa. Cowok itu tergagap dan segera menyesali kemunculan Papa yang tiba-tiba di depan pintu ruangan Ben.

"Ntar Pa, masih ada yang mesti Ben kerjakan. Papa pulang aja dulu," ucap Ben beralasan. Tangannya segera meraih sebuah map di atas meja.

"Dikerjakan besok saja, Ben," bujuk Papa memaksa. "Kita harus pulang sekarang karena nanti malam kita mau ke rumah calon besan Papa untuk merundingkan rencana pernikahan kamu."

Pernikahan?

Ben terperangah. Cowok itu langsung salah tingkah dibuatnya. Apa ini tidak terlalu cepat? batinnya sambil menatap wajah tak sabar milik Papa. Memang Ben tahu kalau ia akan dinikahkan dengan Anne suatu hari nanti, tapi bukan dalam waktu dekat ini. Meski sejujurnya ia senang mendengar rencana pernikahan itu, namun bagaimana dengan Anne? Apa gadis itu siap mengarungi bahtera rumah tangga bersama Ben? Bagaimana jika suatu saat nanti tiba-tiba Anne teringat pada Niel?

"Papa nggak pernah bilang kalau mau merundingkan soal pernikahan ..."

"Memang Papa nggak pernah bilang sama kamu," ucap Papa Ben seraya melangkah mendekat ke meja kerja putra tunggalnya. "mereka sendiri yang mau mempercepat tanggal pernikahan kalian. Makanya mereka mengundang kita ke sana untuk ngomongin masalah ini," jelasnya.

Kening Ben terlipat seketika. Siapa yang ingin pernikahan itu dipercepat? Om Sadewa? Atau Tante Runi? Jangan-jangan ... malah Anne sendiri yang meminta untuk segera dinikahkan. Mungkinkah?

"Ayo, Ben. Kok malah bengong?" tegur Papa mengagetkan.

"Ah, iya, Pa." Cowok itu tergagap dan buru-buru berkemas.

•••

Perjodohan Romantis# Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang