Chapter 20

2.6K 63 0
                                    

"Bisa kamu jemput Anne, Ben?"

Ben tak langsung merespon. Cowok itu malah mengalihkan pandangannya ke arah jendela kaca yang terbentang di samping meja kerjanya, membiarkan Ibu Anne menunggu. Tetes-tetes air hujan sedang berjatuhan dengan intensitas sedang di luar sana dan menjadi perhatian cowok itu selama beberapa waktu.

"Maaf, Tante. Saya nggak bisa," ucap Ben sejurus kemudian. Ia tak butuh waktu lama untuk memutuskan. Andai saja Ibu Anne berada di hadapannya sekarang, Ben tak akan kuasa menolak permintaan wanita itu. "Saya sibuk, Tante," dalih Ben kemudian.

"Oh ... maaf kalau gitu, Ben." Nada penuh kekecewaan begitu kentara terdengar dari suara Ibu Anne dan seketika menimbulkan rasa sesal di hati Ben. Tapi ia sudah terlanjur menolak dan tak ingin merubah keputusannya. "Maaf kalau Tante mengganggu kesibukan kamu."

"Nggak pa pa, Tante."

Ben meletakkan ponselnya di atas meja setelah sambungan komunikasi di antara ia dan Ibu Anne terputus. Cowok itu menghela napas dalam-dalam dan kembali menatap ke arah hujan.

Sekarang apa lagi yang mesti ia pikirkan tentang gadis itu? Tiga hari terakhir pasca kejadian pagi itu, kepalanya selalu dipenuhi dengan lamunan tentang Anne. Tentang Niel, masa lalu mereka, dan masa depan Ben dan Anne yang entah di mana akan berujung. Bahagiakah? Atau menggantung bak layang-layang di awang-awang?

Ben sengaja menyibukkan diri tiga hari terakhir demi mengenyahkan pemikiran tentang gadis itu. Ia nyaris putus asa, namun tak bisa melepaskan Anne begitu saja. Terlebih lagi hari pernikahannya semakin dekat, dua bulan lagi. Ben mencintai Anne. Tapi bagaimana perasaan gadis itu padanya? Berapa banyak rindu yang diukir Anne untuknya? Apa masih lebih besar kerinduannya pada Niel? Dan ruang kosong yang ditinggalkan Niel, apakah Anne sudah mengisinya dengan sebaris nama Ben?

Mungkin Niel lebih beruntung darinya. Meskipun ia telah tiada, masih ada seseorang yang menunggu, mencintai, dan mengenang dirinya. Jika hal itu terjadi pada Ben, apa masih ada seseorang yang mengingat dirinya?

It must be crazy.

Ben menggaruk kepalanya dengan kasar demi mengenyahkan kegundahan yang melanda pikirannya. Tapi tetap saja usahanya gagal. Bayangan Anne tak mau pergi dan masih tinggal di dalam benaknya. Ternyata sulit untuk tidak memikirkan gadis itu

"Nggak pulang, Ben?"

Ben menurunkan tangan kanannya yang masih berada di atas kepala. Cowok itu gelagapan ketika Papa tiba-tiba membuka pintu ruangan kerja Ben tanpa mengetuk pintu terlebih dulu seperti yang staf lain lakukan. Meski Papa berhak untuk keluar masuk ruangan Ben sesuka hati tanpa mengetuk pintu sekalipun, tetap saja Ben merasa sedikit terganggu.

"Ntar aja, Pa. Ben masih ada kerjaan," ucap Ben dengan menyodorkan pekerjaan sebagai alasan kuat untuk menunda kepulangannya. Padahal pekerjaan yang Ben maksudkan bisa ia kerjakan esok hari. Atau kalau cowok itu benar-benar ingin menyelesaikan pekerjaannya hari ini juga, ia bisa melakukannya di rumah. Papa tidak akan memaksanya untuk menambah jam kerja.

"Kerjaan apa?" tanya Papa heran.

Ben hanya mengedik pelan.

"Papa pulang aja dulu. Ntar Ben nyusul," ucap Ben sejurus kemudian.

"Baiklah. Tapi kamu harus sudah ada di rumah sebelum makan malam."

"Beres, Pa."

"Kalau begitu Papa pulang duluan. Hati-hati nanti pulangnya."

Ben mengembuskan napas dalam-dalam setelah Papa menutup pintu ruangannya. Tidak ada yang ingin dikerjakannya saat ini kecuali diam di kursinya sembari menerawang ke langit-langit. Berpikir tentang Anne.

Anne lagi.

Apa ia sudah pulang? batin Ben sembari melongok ke arah jendela. Hujan masih bertahan sampai detik ini. Bagaimana dengan kondisi di butik? Apa di sana hujan juga?

°°°

Beberapa waktu yang lalu Ben masih berada di ruangan kerjanya, tapi sekarang ia sudah berada di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari butik milik Anne. Berpikir tentang gadis itu membuatnya cemas sekaligus rindu. Namun ia hanya bisa duduk resah di balik kemudi sembari memantau situasi butik dari jauh. Entahlah. Meski ia ingin sekali melangkah ke sana, akan tetapi hati kecilnya seolah melarang demi kecemburuan dan kekecewaan pada gadis itu.

Anne masih di sana. Padahal senja kian bergulir dan malam sebentar lagi akan tiba. Tapi agaknya hujan memaksa gadis itu untuk tetap tinggal di butik. Mungkin ia akan bertahan sampai hujan berhenti. Namun tak ada yang tahu sampai kapan hujan akan berhenti.

Haruskah Ben ke sana dan menawarkan tumpangan pada gadis itu?

Seandainya saja Anne mau menghubungi Ben dan meminta cowok itu untuk menjemputnya, mungkin Ben tidak akan berpikir dua kali untuk menimbang. Tapi seluruh notifikasi yang masuk ke dalam ponselnya, tak ada satupun yang berasal dari Anne. Gadis itu sama sekali belum pernah mengirim sesuatu ke ponsel Ben dan ini benar-benar mengecewakan. Sebenarnya apa arti Ben bagi Anne? Lalu ciuman itu?

Ben tergagap ketika sebuah mobil berhenti tepat di depan butik dan tak lama kemudian Om Sadewa muncul dengan membawa sebuah payung. Laki-laki itu tampak tergopoh-gopoh masuk ke dalam butik.

Astaga.

Ben melenguh kuat-kuat. Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan sekarang? Apa dengan mengintai gadis itu, ia akan mendapatkan jawaban atas segenap pertanyaan yang menyerang kepalanya bertubi-tubi?

"Apa Anne sudah pulang, Tante?" tanya Ben usai menekan nomor Ibu Anne sesaat kemudian. Padahal mobil Om Sadewa baru saja meluncur pergi dari depan butik.

"Tadi Tante menyuruh Ayah Anne untuk menjemput dia. Mungkin sekarang masih dalam perjalanan. Kamu sendiri sudah pulang, Ben?"

"Sebentar lagi, Tante."

"..."

"Tante ...," Ben menghela napas sejenak untuk meredakan segenap keraguan yang tiba-tiba menyerang hatinya. "apa Anne benar-benar sudah melupakan Niel?"

Tak ada jawaban selama tiga detik lamanya.

"Kamu masih meragukan Anne?"

"Sejujurnya iya ...."

"Tante bisa mengerti perasaanmu. Anne memang sudah menyingkirkan foto-foto Niel dari kamarnya, tapi nggak gampang membuang kenangan dari hatinya. Semua butuh proses, Ben. Beri dia sedikit waktu lagi."

Ben bergeming. Ia memang sedang memberi Anne waktu untuk menelusuri perasaannya sendiri. Tapi ketakutan itu terkadang muncul tiba-tiba menyergap pikirannya. Apa ia layak dicintai Anne?

Mungkin Anne memang butuh waktu seperti kata Ibunya.

"Dia sedang berusaha untuk melupakan Niel demi kamu, Ben."

Kalimat terakhir yang Ibu Anne ucapkan sedikit membuat hati Ben tersentuh. Tapi masih ada keraguan yang menyelimuti benaknya.

"Ben?"

"Iya, Tante." Ben tergagap dan segera menuntaskan lamunannya tentang Anne. "Saya akan menunggu Anne."

"Makasih, Ben."

•••

Perjodohan Romantis# Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang