l.p. // numb

9K 517 38
                                    

A/N: Buat PuputWN, maaf ya agak lama dan mungkin jadinya aneh banget. Buuut I really hope you like every bite of it!

ENJOY!

***

"Err, Snail, kacanya jangan dibuka terus. Bisa-bisa aku jadi peternak serangga esok hari," Liam mengeluh padaku saat mengemudikan mobilnya menuju rumahnya. Aku memang sering main ke rumahnya tiap kali Liam tidak memiliki agenda apa pun selepas pulang sekolah.

Aku menjulurkan lidah sambil tetap menjulurkan tangan keluar kaca jendela, menyongsong embusan angin sementara aku dan Liam berkendara. Bosan, aku pun menutup kacanya kembali rapat-rapat.

Tatapanku tertuju pada figura kecil yang ada di atas dasbor mobil Liam. Figura yang bergambarkan dua orang anak laki-laki yang mengenakan jersey sepakbola sekolah, saling merangkul bahu satu sama lainnya.

Rasanya dulu gampang sekali buatku untuk menentukan mana yang Liam dan mana yang Louis. Louis lebih pendek setengah inci dari Liam, tiga tahun yang lalu. Tapi sekarang? Tinggi mereka hampir sama.

Apalagi jika aku sedang tidak menggunakan kacamata dan aku bertemu salah seorang dari mereka di jalan, dengan enggan aku melambaikan tanganku tanpa mengucapkan nama mereka. Model rambut sama, postur tubuh serupa, hanya warna mata merekalah yang berbeda. Louis memiliki mata biru jernih, sedangkan Liam bermata cokelat kayu.

Mereka berdua merupakan teman terdekatku sejak waktu-yang-entah-kapan.

"Rindu padanya, ya?" godanya usil. "Kalian cocok, tahu. Kau kapten tim basket putri sementara dia adalah kapten senior tim sepakbola sekolah kita. Kenapa tidak jadian saja?"

"Liam."

"Ya?" sahutnya tanpa menoleh.

Aku tersenyum meski dia tiak melihatnya, "Kamu menerima pesan yang semalam kukirim padamu, kan?"

Sontak, Liam menoleh dan saat pandangan mata kita bertemu, dia kembali menatap ke jalanan yang ada di depannya lagi. Dia mengangguk kecil sesudanya.

Aku ikut mengangguk satu kali, "Then, kamu semestinya tahu alasan mengapa aku menolak Louis."

"Mungkin," kata Liam. Rahangnya mengeras.

"Hm," Jeda. "Kamu belum membalasnya, by the way."

Suara tarikan napaslah yang terdengar di telingaku ketika aku menyelesaikan ucapanku. Aku melihat Liam menatap sejenak figura yang tadi sempat kuamati baik-baik. Kemudian, seolah dia sudah mahir dalam mengemudikan mobil sambil memandang ke arah lawan bicaranya dalam waktu yang lama, dia berkata, "Bagiku... kamu terlalu baik."

Aku mengerjap lalu mendengus, "Turunkan aku di sini."

*

"Main tebak-tebakan, yuk!" Sebuah suara lantang menggelegar ke seisi ruangan kelas hingga orang-orang yang masih merapikan barang-barang mereka untuk diletakkan di loker sekolah menengok ke sumber suara tersebut, yaitu aku sendiri.

"Boleh, boleh."

"Ayo!"

"Kebiasaan deh si Snail."

"Apa tebak-tebakannya?"

"Buruan, aku mau pulang. Sudah dijemput Mom soalnya."

Aku tertawa mendengar berbagai respons yang kudapati. "Oke, jawab, ya! Kamu, kamu apa yang pahit?"

Caitlin, gadis berambut ungu dengan tubuh yang mirip gitar Spanyol menjawab, "Kamu mencintai lain hati?"

Aku terkekeh, "Bukan. Coba lagi!"

"Kamu memilih yang lain?" tebak Leon, kutubuku terpintar di kelas.

"Bukan!" sergahku lagi. "Mau tahu jawabannya?"

"Hm."

"Ya, ya, ya."

"Aku pulang, deh."

"Snail tidak asyik!"

Aku melemparkan pandangan ke arah Liam yang masih duduk di meja belakang dengan telinga tersumpal earphone. Seolah dia sadar bahwa ada orang yang memperhatikannya, dia mendongak dan tatapan mata kita berdua pun beradu lagi.

Aku tersenyum miris, "Waktu dia bilang, 'Kamu terlalu baik'."

Word VomitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang