A/N: Larry Stylinson as you wish, FauStyles. Hope you guys also like it ;)
ENJOY!
***
Harry membuka lokernya dan menoleh ke samping. Ia mendapati Louis Tomlinson dengan tangan terlipat di dada, sedang menatapnya lekat-lekat.
"Mengapa kau menatapku seperti itu, Tomlinson?" tanya Harry agak syok karena tak pernah membayangkan kalau ia akan berada dalam jarak sedekat itu dengan Louis. Iya, Louis yang diidolakan para gadis di sekolahnya.
Wangi aftershave Louis bahkan menyusup masuk ke dalam indra penciumannya. Membuat Harry harus menahan keinginannya untuk memejamkan mata sejenak dan menikmati momen langka tersebut.
"Kau kenal Patricia?" tanya Louis, menampar Harry kembali ke dunia nyata.
Harry mencengkram tas ranselnya kuat-kuat, "Maksudmu Patricia Dalton?"
Louis mengangguk, "Ya, dia."
Harry memutar kedua bola matanya. Bukan sekali-dua kali saja baik para senior maupun teman-temannya menanyakan soal Patricia Dalton, guru Matematika di sekolah mereka. Hingga tak aneh lagi bagi Harry jika kali ini giliran Louis Tomlinson yang (mungkin) berkeinginan untuk meminta nomor ponsel kakaknya itu darinya.
"Hm, tentu saja," jawab Harry, "Patricia merupakan kakak pertamaku."
Louis manggut-manggut mengerti, "Ah, I see..."
Harry menatap Louis, tercenung sesaat mengamati wajah Louis dari tempat ia berdiri. Rupanya laki-laki itu lebih pendek darinya. Potongan rambutnya... hmm, keren. Satu nilai plus lagi untuk Louis sebab ia punya warna mata yang mampu membuat lutut Harry melemas. Abu-abukah? Atau biru? Ah, betapa sempurna perpaduan warna dan bentuknya.
Harry menghela napas, "Look, aku benar-benar tidak bisa memberikan nomornya kepada siapapun lagi. Patricia bisa marah besar jika tahu aku menyebarkan nomornya lagi ke murid-murid yang diajar olehnya di sekolah ini. Kalau kau ingin nomornya, tanya langsung saja padanya."
Louis tersenyum miring, "Kata siapa aku ingin meminta nomornya? Jangan sok menyimpulkan sendiri."
Tangan Harry bermain-main dengan buku yang ada di dalam lokernya, pura-pura terlihat seperti ia sedang melakukan sesuatu padahal tidak sama sekali. Setelah itu, Harry pun menutupnya perlahan dan kembali menatap Louis lagi dengan tenang. "Lalu kenapa tiba-tiba kau bertanya soal Patricia kepadaku?"
"Tidak, sebenarnya aku hanya ingin basa-basi denganmu," Louis mengangkat bahunya. Pipinya bersemu merah. "Sebelumnya, namamu Harry, kan? I was wondering... mengapa kita tidak pernah berbincang sebelumnya? Kau sepertinya teman yang mengasyikan untuk diajak mengobrol."
"Kenapa kau menanyakan hal itu padaku? Mana kutahu," Harry mengerjap bingung. "Now, if you don't mind, aku masih ada kelas setelah ini."
Louis meletakkan tangannya di atas bahu Harry, hampir saja Harry terperanjat karena sentuhan itu. "Sebentar."
Harry melihat sekelilingnya, berusaha menghindar dari tatapan Louis yang mengintimidasinya.
"Apa yang akan kaulakukan malam ini?"
Harry, yang menganggap pertanyaan yang dilontarkan Louis barusan itu sebagai lelucon semata, menanggapinya dengan sebuah senyuman tipis lalu menjawab, "Pergi makan malam denganmu?"
Louis tersenyum lebar, "Good. Aku tunggu kau jam tujuh di Terroirs."
Harry mengeryitkan dahinya, "A-apa maksudmu? Kau... tidak mungkin. Kau mengajakku..."
"Kencan," Louis tertawa renyah. "Kau boleh menyebutnya seperti itu. Aku sering memperhatikanmu akhir-akhir ini. Kau gay kan, Styles?"
Harry hendak membuka mulutnya lagi tapi Louis menimpali dengan cepat, "Jangan sampai terlambat, ya. Jam tujuh di Terroirs."
*
Harry menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat kejadian yang tergambar dalam mimpinya tadi malam.
Mimpi yang benar-benar gila. Harry tersenyum geli sendiri membayangkan kalau hal itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata. Louis Tomlinson mungkin akan dicemooh dan dibenci oleh para gadis seantero sekolah jika ia diketahui memiliki orientasi seksual yang menyimpang dan mengencani Harry yang nyatanya adalah seorang laki-laki.
Harry mengembuskan napas panjang sambil berjalan ke lokernya. Tetapi ia tidak perlu lagi bersusah payah memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya karena... yah, itu kan hanya ada dalam mimpinya. Namun, mengapa Harry merasa ada sesuatu yang janggal di hatinya saat ini? Ah, mungkin hanya perasaannya saja.
Harry mengulurkan tangannya untuk membuka pintu lokernya ketika sebuah tangan menariknya hingga tubuhnya terputar 120 derajat ke kanan. Sepasang mata biru menatapnya begitu sengit dengan penuh kekecewaan.
"Kenapa kau tidak datang semalam? Aku menunggumu sampai restorannya tutup, tahu."
Selama beberapa detik, Harry terenyak.