"Aku minta maaf," kata Vania. Raut wajahnya serius, tak terbaca. Atau lebih tepatnya, Michael Clifford enggan mengamati ekspresi pemilik wajah cantik itu lebih lama lagi. Hatinya terasa sakit acapkali memandangnya.
Vania, gadis yang sampai sekarang masih menjadi pacarnya itu, secara tiba-tiba datang begitu saja ke tempat kerjanya. Entah untuk alasan apa lagi Vania menemui Michael setelah selama satu bulan menghilang tanpa kabar.
"Aku minta maaf," ulang Vania, nada suaranya terdengar begitu lirih.
Mata Michael mulai berair, namun dengan cepat ia mengerjapkan matanya agar air matanya yang hampir terbendung tidak jatuh di depan Vania Ia ingin sekali menghambur ke pelukan hangat gadis itu sekarang, tapi ini bukanlah waktu yang tepat. Michael bahkan tak yakin jika ia masih bisa mendekapnya lagi.
"Aku terus bertanya-tanya dalam hati; mengapa kau meninggalkanku hari itu?" tanya Michael, menyuarakan apa yang ada di pikirannya saat ini. "Apakah aku membuatmu terkejut karena lamaranku itu? Tapi, tidakkah kau tahu sebelumnya bahwa aku memang benar-benar serius denganmu sehingga aku memiliki keberanian untuk melamarmu?"
Vania mengangkat wajahnya dan melihat Michael tidak sedang melihat ke arahnya. Laki-laki berambut merah itu berbicara sambil menundukkan kepalanya. Vania pikir, mungkin bagi Michael, menatap wajahnya merupakan hal terakhir yang ia inginkan saat ini. Bahkan, Michael pasti tidak mengharapkan kedatangannya kembali. Vania mengerti bagaimana perasaan Michael, pasti ia juga sangat terluka.
Michael melanjutkan, "Vania, pertanyaan-pertanyaan itu kerap menggangguku selama berminggu-minggu. Lalu, aku sadar aku telah melewatkan sebuah fakta yang fatal. Sebuah fakta yang membuatku sangat marah. Bahwa kau sebenarnya tidak pernah mencintaiku. Benar, bukan?"
Sampai detik ini, tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir Vania selain 'aku minta maaf'. Gadis itu hanya diam dan mendengarkan Michael berbicara. Ia terus diam, diam, dan diam. Membiarkan laki-laki itu menghujaninya dengan berbagai pertanyaan yang ia sendiri tak mampu menjawabnya.
Michael mengembuskan napas panjang. Keheningan ini terasa asing. Ia benar-benar membenci keheningan ini.
"Apakah semenjak kau meninggalkanku kau menjadi sepelit ini dalam berbicara?" ujar Michael sambil melihat sepasang iris karamel di hadapannya. "Setidaknya, tanggapilah ucapanku."
Perlu beberapa detik bagi Vania untuk mencerna pertanyaan Michael. Ia membuka mulutnya, namun menutupnya lagi. Ia terlihat sedang berpikir keras sampai-sampai ia tak sadar kalau benda yang ada di tangannya telah jatuh ke bawah kakinya. Ia terkesiap dan hendak mengambil benda tersebut saat suara Michael menghentikan cara kerja otaknya lagi.
"Hubungan itu seperti rumah. Ketika ada atap yang bocor, kau tidak pergi dan membeli rumah yang baru. Kau tetap tinggal dan membetulkan atap yang bocor itu. Kau seharusnya tidak lari dari masalah."
Vania mendesah berat dan berkata, "Ya, aku tidak seharusnya meninggalkanmu. Kau pasti sangat sedih hari itu. Tak sepantasnya aku melukai laki-laki setulus dirimu."
Mendengar hal itu, hati Michael menjadi semakin hancur. "Apakah selama ini kau hanya memberiku harapan kosong karena kau tahu aku sangat menyukaimu dan kau merasa kasihan padaku? Ya, ampun, Vania... kau tidak henti-hentinya membuatku merasa bodoh," katanya yang kemudian diakhiri dengan sebuah tawa sinis.
Kali ini, giliran Vania yang bertanya, "Apakah kau akan memercayaiku jika aku mengatakan hal yang sebenarnya?"
Michael menggeleng pelan sambil mengepalkan tangannya di bawah meja. "Whatever you're trying to say, just don't. Kau punya kesempatan untuk mengatakannya dan kau sudah kehilangan kesempatan itu."
Vania mengerutkan dahinya. "Tapi, kau tidak tahu perasaanku yang sesungguhnya."
"Apakah ini adil; kau pergi semaumu dan kau juga kembali saat kau ingin kembali? Dan lagi, kalau aku sudah mengetahui perasaanmu padaku, lalu apa yang harus kulakukan selanjutnya? Aku hanya bisa bertindak sesuai kehendakmu. Kau selalu memberiku batasan-batasan itu tanpa kau sadari, Vania. Apakah kau pernah menomorduakan urusanmu dan memikirkan perasaanku terlebih dahulu? Tidak, sama sekali tidak."
"Kau membenciku?" tanya Vania dengan suara parau.
Michael menatap Vania dengan pandangan putus asa. "Aku tidak membencimu. I swear I don't. It just hurts too much to be around you right now."
"Tapi, apa itu artinya?"
"Menurutmu, apa artinya itu, Vania? Artinya, apa pun nama hubungan yang sedang kita jalani ini, sebaiknya kita akhiri saja."
Tenggorokan Vania pun tercekat. Ia tidak mengharapkan kata-kata itu terucap dari bibir Michael hari ini, tidak juga kapan pun. Apakah dalam satu bulan ini, Vania telah menghancurkan Michael dan semua impiannya?
"However, it's nice to see you again. Kau terlihat baik-baik saja, semoga kau selalu baik-baik saja tanpaku," kata Michael sembari bangkit untuk berdiri. Ia menatap Vania sekali lagi sebelum membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.
Lantas, Vania menyentuh dadanya selepas kepergian Michael. Ada rasa nyeri yang tak tertahankan di dalam sana. Rasa sakit seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum es.
Tangannya kemudian terjulur meraih benda yang sempat terjatuh tadi. Vania mendekapnya erat seolah benda tersebut merupakan oksigennya. Lalu, secara perlahan ia membuka kepalan tangannya.
Di tangannya, ada sebuah kalung berliontinkan cincin yang sempat disematkan di jari manisnya oleh Michael sebulan yang lalu. Cincin yang harusnya menjadi cincin pertunangannya dan Michael. Semestinya hari ini, Michael melihatnya mengenakan cincin itu sebagai sebuah kalung. Yang berarti Vania akan terus menyimpan nama Michael dekat di hatinya. Tapi, sayang... semua sudah terlambat.
Memang benar kata orang. What goes around comes back around.
Kali ini, laki-laki itulah yang meninggalkan Vania dengan luka menganga lebar.
.
.
.
"...People like you always want back the love they pushed aside,
but people like me are gone forever when you say goodbye..."