A/N: Happy 18, dearest Dayanti! (maaf agak telat nge-postnya :P)
ENJOY!
***
Aku menemui Harry di restoran mewah seberang kantornya untuk makan malam. Beberapa pekan yang lalu, dia pernah berjanji padaku jika omzet penjualan perusahaannya bulan ini naik 15% dari bulan kemarin, dia akan mentraktirku sepuasnya.
Aku sampai di sana lima belas menit lebih lambat. Terima kasih banyak kepada traffic New York yang menyebalkan, padahal biasanya aku merupakan orang yang tepat waktu. Untuk itu, aku sudah mempersiapkan kalimat demi kalimat yang akan kuucapkan nanti jika Harry mulai menceramahiku panjang-lebar tentang keterlambatanku, sebab kukira dia sudah sampai di sana lebih dulu daripadaku (mengingat dia hanya perlu berjalan selama kurang dari dua menit dari kantornya menuju ke restoran ini), namun ternyata aku salah besar. Saat aku mengirim pesan kepadanya untuk menanyakan di manakah dia berada sekarang, dia justru mengatakan bahwa dia masih ada meeting yang—menurut perkiraannya—akan segera selesai tepat pada pukul sembilan nanti.
Tidakkah ia tahu kalau supaya jarum pendek di arlojiku ini sampai ke angka sembilan tepat itu membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit lagi? Kadang-kadang, dia memang sialan.
Meskipun dia bilang aku bisa memesan makanan duluan karena ia pun sudah memesan meja, kurasa aku akan bergabung dengan beberapa orang di meja bar yang sedang asyik menonton pertandingan sepak bola. Makan malam sendirian di restoran mewah itu terdengar menyedihkan dan aku tidak mau merasa seperti orang yang menyedihkan. Mungkin aku akan minum segelas bir dulu sembari menunggu Harry datang.
Aku hendak memesan minuman pada sang bartender sewaktu seseorang menepukku dari belakang. Dan syukurlah, aku tidak sedang dihipnotis karena ketika aku membalikkan tubuhku, aku melihat wajah yang sangat familier. Dia Niall, tetangga sebelah apartemenku.
"Hei, kau datang ke sini juga rupanya?" tanyanya sambil mengambil kursi tepat di sampingku, yang sebenarnya sudah kusimpan untuk Harry sebab sejauh mataku memandang, sekarang sudah tidak ada lagi kursi kosong di meja bar ini. Ya, sudahlah, kami langsung memesan makanan saja jika laki-laki itu tiba nanti.
"Hei, Niall," sapaku riang.
"Mau minum apa?" tanyanya dan setelah aku menjawabnya, ia langsung menyebutkan pesanan kami pada salah seorang bartender yang posisinya paling dekat dengannya.
"Having a date tonight?" godaku ketika melihat pakaian yang ia kenakan sekarang.
"Nope," ujarnya sambil tertawa. Ia menyampirkan jasnya di kursi bar yang ia duduki. "Kenapa memangnya?"
"Kau terlihat berbeda dari biasanya," aku memandangi kemejanya sekali lagi, cukup jelas jika kemeja yang ketat itu benar-benar membentuk lekuk tubuhnya. "in a good way," tambahku.
"Yah, apa yang kau harapkan dariku? Tiap hari, kita hanya sempat bertemu di lift sebelum kau berangkat kerja," Ia melirik layar televisi sejenak dan berteriak bersemangat bersama beberapa pria lainnya kala seseorang dari tim yang memakai jersey berwarna putih berhasil mencetak gol pertama di tiga menit terakhir pada leg pertama pertandingan tersebut.
Ia kembali menatapku, masih dengan wajahnya yang sumringah, dan melanjutkan, "Dan, sementara kau selalu terlihat mengagumkan dalam kemeja kerjamu tiap pagi, aku bahkan hanya sempat mencuci muka dan menggosok gigi untuk menikmati kopi pagiku di lantai bawah."
"Well, I like your sweatpants," kataku diiringi decihannya. Aku pun lagi-lagi tersenyum. "Omong-omong, kalau bukan pergi kencan, apa yang kaulakukan sebelum pergi ke sini?"
Ia menandaskan minumannya dalam sekali teguk dan memesan minuman yang sama lagi. "Aku baru mengikuti casting sebuah iklan di lantai tiga."