A/N: Had the urge to post a drabble 'cause lately I've been frustrated af and wanted to release these feelings by writing. This whole Zayn's departure from the band and him hanging out with Naughty Boy all day & all night thing got me like..... #!@$%^^&)*$
ENJOY!
***
Zayn memandang langit-langit kamarnya. Entah sudah berapa lama waktu yang ia habiskan hari ini dengan berbaring di tempat tidur dan melamun. Mungkin setengah jam, ah, tidak... rasanya lebih lama dari itu, mungkin satu setengah jam. Waktu berlalu dengan cepat, begitu cepat hingga laki-laki itu merasa ia ingin sekali menghentikan waktu atau memutar ulang kembali waktu yang telah berlalu.
Zayn akhirnya menyerah. Ia sadar, selama apa pun ia melamun, cara itu sama sekali tidak akan memberikan jalan keluar bagi masalah yang sedang menimpanya sekarang ini. Ia bangkit dari tempat tidur, mendesah berat, lalu menghidupkan ponselnya. Tidak ada notifikasi akan puluhan panggilan tak terjawab dan belasan pesan singkat yang biasa menyambutnya ketika layar ponsel itu menyala setelah berhari-hari dimatikan. Tidak ada lagi. Lantas, ia segera menekan speed dial nomor satu di ponselnya dan langsung terhubung dengan nomor ponsel orang yang ia hindari selama empat hari belakangan ini.
Zayn memejamkan matanya saat panggilannya terjawab. Ada jeda yang begitu panjang sebelum sebuah helaan napas pendek di ujung telepon mengakhiri keheningan di antara mereka berdua.
Zayn pun memijat keningnya yang berdenyut sakit. Mendengar tarikan napas gadis itu saja sudah membuat dadanya terasa nyeri berpuluh-puluh kali lipat dari sebelumnya, apalagi mendengar kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu selanjutnya.
"Zayn," suara gadis itu yang menyebut namanya terdengar parau di telinganya. Zayn menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat sembari meremas lututnya.
"Would you mind to stop by our flat?" tanya Zayn ragu. "I've got something to say to you."
"I can't, I'm not in the town."
Zayn menahan napasnya selama beberapa detik. Ia tidak terkejut akan fakta yang baru saja ia ketahui, melainkan karena hal tersebut akan datang secepat ini. "You're leaving me, aren't you?"
Gadis itu terdiam sejenak dan membalas, "Kau lupa? You gave up on me first. Aku memberikanmu seluruh hatiku dan kau merasa itu tak cukup. Kau yang pergi dariku, Zayn, bukan aku. Aku minta maaf, tapi aku memang tidak cukup bagimu."
Entah mengapa mendung pada akhir Maret ini begitu menyiksanya. Zayn mengerjapkan matanya untuk mengenyahkan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
"Aren't you going to say what you want to say before? Since this will be our last phone call."
Zayn menarik napas dalam-dalam, kedua matanya benar-benar terasa panas sekarang. "Aku minta maaf telah menyakitimu."
"I hope you're always happy. Goodbye, Zayn."
*
Zayn menundukkan kepalanya menatap tangan hangat ibunya yang menggenggam kedua tangannya yang terkepal.
"Aku melakukan yang seharusnya. It sucks."
"Semuanya akan baik-baik saja setelahnya."
"Bagaimana jika tidak?"
"It's not your fault, that's just the way it works. Rasanya memang berat untuk melepas pergi sesuatu yang membuatmu nyaman setelah sekian lama. Tetapi, kau juga harus tetap memikirkan kebahagiaanmu. Hal itu lebih penting dari segalanya."
Zayn mengangguk sambil memandang ke luar jendela, mengamati rintik-rintik air hujan yang turun ke bumi dengan bebasnya. Ia bahagia, ia bersumpah ia tak pernah sekalipun merasa tidak bahagia dengannya. Namun, nyatanya Zayn memang seorang bajingan yang tidak pantas mendapatkan gadis itu di akhir cerita mereka. Mungkin memang begitu baiknya. Mungkin memang perpisahan adalah jalan satu-satunya. Sementara ibunya memeluknya dengan sangat erat, Zayn merasa beban di dadanya terlepas perlahan.
.
.
.
'"It's so hard to leave, until you leave.
Then, it's the easiest thing in the world." -John Green