A/N: Ashton Irwin one shot untuk Prills tersayang! Semoga kamu sukaaa <3
ENJOY!
***
Sesampainya di rumah, Ashton lekas menuju kamar Sean untuk menemui kakak laki-lakinya yang lebih tua satu tahun darinya itu. Tanpa ba-bi-bu lagi, dia langsung bertanya, "Kau menolak Gemma?"
Sean yang sedang bermain game di laptop-nya langsung menatap adiknya kaget. "Kau sudah pulang?"
Ashton mengibaskan tangannya di udara. "Kenapa kau sok jual mahal begitu? Bukankah dulu kaubilang kau menyukainya?"
Perlu lima detik bagi Sean untuk mencerna pertanyaan Ashton. Dia memiringkan kepalanya, lalu menyeringai. "Playing hard to get itu waktu aku bilang 'tidak' meski sebenarnya ingin mengatakan 'ya'. Aku menolaknya karena aku sadar kalau perasaanku padanya hanya sebatas tertarik saja."
Ashton mencengkram kerah baju Sean dengan keras. Membuat laki-laki itu balik mendorongnya.
"Apa-apaan kau?!"
"You're an ass, Sean," kata Ashton dengan geram.
"Am I still an ass saat aku menolaknya karena aku sama sekali tak berniat menyakiti hatinya di kemudian hari?" balas Sean yang menatap Ashton dengan sorot tajam. "Bukankah kau menyukai gadis itu, Ash? Lalu melihat dia dengan yang lain, dalam hal ini aku, apakah kau merasa baik-baik saja?"
Ashton mengerjap kilat. Detak jantungnya berpacu seketika, bersamaan dengan helaan napas pendeknya. Ia tak berusaha mengingkarinya, bahwa dirinya memang menyukai Gemma. Bahwa dirinya memang tidak pernah baik-baik saja jika menyangkut orang lain di antaranya dan Gemma. Namun, baik dia mengingkarinya maupun tidak, kedua opsi tersebut tak akan mampu mengubah cara pandang Gemma terhadapnya. Ashton hanyalah seorang sahabat bagi Gemma, tidak lebih.
Dan hal terakhirlah yang membuat Ashton pada akhirnya tetap membohongi hatinya.
"Don't jump into conclusion when you don't know anything."
Sean memutar kedua bola matanya. "Jangan munafik, little bro. Aku tahu karena aku melihatnya."
Balasan Sean cukup membuat kening Ashton berkerut.
"Munafik itu dirimu, Sean. Kau tidak ingin membuatnya terluka, tetapi dengan menolaknya saja kau sudah menyakiti hatinya."
"Kau juga tidak bisa seenaknya mengontrol hidupku. Kalau kau ingin membuat dia bahagia, lakukanlah dengan caramu sendiri. Jangan salahkan aku jika aku tidak bisa membalas perasaannya. She's responsible for her own heart and I'm responsible for my own decision."
"You flirted with her in the first place!"
"There's this thing called experimenting, Ashton. Live a little."
Setelah Sean menuntaskan kalimatnya, dengan rahang mengeras, Ashton mengepalkan kedua tangannya dan keluar dari kamarnya dengan perasaan campur-aduk. Kalau saja laki-laki itu bukan kakaknya, mungkin Ashton sudah menghajarnya hingga babak belur.
Hatinya boleh hancur, tetapi tidak dengan Gemma.
*
Beberapa jam sebelumnya...
Ashton segera kembali dari minimarket dengan membawa sekantung plastik putih. Begitu masuk ke dalam mobil, dia menyerahkan dua kantung plastik yang berat itu ke pelukan Gemma.
Ashton mengambil sekaleng kopi dingin dari dalam plastik tersebut dan membukakannya untuk Gemma.
"Ini."
"Thanks," ucap Gemma menerima kopi kalengan tersebut.
Ashton mengamati dengan saksama cara gadis itu meneguk minumannya. Ruas-ruas jarinya menggenggam badan kaleng yang berbentuk tabung itu dengan erat. Seraya mendekatkan bibir kaleng tersebut ke bibirnya, ia meneguknya pelan-pelan dan tak lupa menutup kedua matanya. Seolah kenikmatan kopi kalengan itu tidak mencapai batas sempurna saat matanya masih terbuka.
Lalu mendadak, gadis itu menatapnya sembari menarik garis lebar dari kedua sudut bibirnya, satu gerakan sederhana yang mampu membuat Ashton berdebar-debar.
"Ash," ucapnya. "Aku sudah mengungkapkan perasaanku padanya hari ini."
Ashton yang tidak siap dengan reaksinya sendiri hanya bisa membisu dan menatap Gemma clueless.
"Aku pikir, setelah banyak waktu yang kami lalui bersama. Aku dan dia juga akan memiliki perasaan yang sejalan, tetapi rupanya tidak."
Gemma mengalihkan pandangannya sejenak, menghela napas sembari memijat keningnya dengan dua jari. Ashton meringis, ia ingat hal itu yang selalu dilakukan lawan bicaranya saat menahan tangis.
Ashton tercekat. Masih tanpa kata, dahinya berkerut, beriringan dengan sebuah genggaman hangat yang ia berikan kepada Gemma yang berulang kali mengucapkan, "Aku tidak apa-apa."
Tak perlu otak sejenius Einstein untuk mengetahui arti sesungguhnya dibalik kalimat tersebut. Ashton lebih baik melihat Gemma menangis, memaki, atau merusak seluruh interior mobilnya daripada melihat Gemma yang tetap tersenyum meski hatinya sudah rusak tercabik-cabik.
Kurang dari setengah jam setelahnya, Ashton mengantarkan Gemma pulang ke rumahnya. Pun setelah gadis itu masuk ke dalam rumah dan hilang dari pandangannya, Ashton enggan melanjutkan perjalanannya lagi. Ia terpaku selama beberapa saat di dalam mobil, memandang rintik-rintik hujan yang tiba-tiba saja jatuh ke bumi.
.
.
.
Aku benar-benar menyukaimu. Aku tahu kau tidak merasakan hal yang sama. Tidak apa-apa jika hanya aku yang jatuh kepadamu. Tetapi jika kau bersama orang lain, atau memikirkan tentang orang lain, rasanya aneh. Aku tidak baik-baik saja. Hanya dengan memikirkannya saja dapat membuat dadaku nyeri sekali. Aku pasti amat sangat menyukaimu.
Di dunia ini mungkin aku yang paling tahu rasa itu. Rasa bagaimana orang yang kau sukai tak pernah melihatmu, dan malah menyukai orang lain.