A/N: OTANJOUBI OMEDETOU SEKARNINGTYAS WELCOME TO THE 18TH WORLD, MINNIE! Maap telat sebulan :') (based on: 18 by one direction)
ENJOY!
***
Aku masih ingat hujan pertama kita.
Ketika aku sedang menengadahkan kepala memandang langit siang yang dipenuhi awan kelabu, mengamati rintik-rintik hujan jatuh membasahi tanah, sosokmu datang menghampiriku.
"Hai, Niall," sapamu waktu itu.
"Hai, Sekar. Belum pulang?" balasku sembari memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket.
"Inginnya cepat-cepat pulang, tapi hujan turun deras sekali," jawabmu, ikut bergabung dan berteduh denganku di halte depan sekolah.
Sontak aku menoleh saat mendengar gigimu bergemeletuk karena menggigil kedinginan.
"Dingin, ya? Mau kupinjamkan jaketku?"
Kamu menggeleng dan berkata di sela-sela gemeletukmu, "Nanti kamu yang kedinginan."
"Tidak apa-apa, asal bukan kamu yang kedinginan," kataku sambil melepaskan jaket dan memakaikannya padamu. Saat aku merapatkan jaketku yang sudah melingkar di tubuhmu itu, pandangan kita lalu terkunci. Aku pun menjulurkan tanganku dan menangkup kedua pipimu.
Matamu membesar. "E-eh, Niall, tidak perlu begini..."
Aku mengernyit. "Gigimu terus-menerus bergemeletuk. Kamu pasti sangat kedinginan."
Kita berdua seperti itu untuk sementara waktu, sama-sama mengalihkan pandangan masing-masing karena jarak di antara kita begitu dekat.
Setelah kurasa pipimu mulai menghangat dan hujan pun sudah berhenti, aku pun menurunkan tanganku.
"Rumahmu di mana? Ayo, kuantar pulang. Hujannya sudah reda," ujarku.
"Aku bisa pulang sendiri, kok," katamu gugup. "Oh, jaketmu—"
"Pakai saja. Kamu bisa mengembalikannya besok, lusa, atau bulan depan juga boleh," kataku.
Kamu mengangguk malu-malu. "Oke, aku pergi duluan, ya."
"Hati-hati," ucapku.
Baru beberapa langkah, kamu memutar tubuhmu lagi menghadapku.
"Kamu tidak pergi?"
"Aku mau melihatmu pergi dulu, baru aku akan pergi."
Kamu mengangguk sekali lagi dan berjalan pergi. Tinggal aku sendirilah yang mengagumi punggungmu dari jauh.
*
"Dude, kalau kamu sakit, sebaiknya tinggal di rumah saja. Mengapa masih bersikeras ingin tinggal di sekolah? Kamu bahkan tidak mau minum obat," celoteh Harry, sahabatku. Dia kerap menggeser duduknya setiap kali aku bersin.
Aku mendengus sambil menatap dinding ruang kesehatan, memunggunginya.
"Cerewet," kataku.
Harry mengembuskan napas panjang. "Yeah. Yeah. Dasar kepala batu."
Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki mendekat menuju ranjang tempatku berbaring, aku mendengar seseorang memanggil namaku.
Kamu. Ya, kamulah yang waktu itu memanggil namaku. Lagi-lagi datang menghampiriku.
"Niall?"
Pada detik pertama, aku langsung berbalik. "Hei, ada apa kemari?"
Harry melemparkan pandangan jengkelnya padaku. "Ck, ck,..."