BAB VIII - LAKI-LAKI KEGUGURAN

111 29 7
                                    

#Bagian 1

"Kakak, bagaimana di sana?"

"Hmm? Ah... uh... di sini... tak ada apa-apa. Cuma ada motor dan mobil. Memangnya kenapa? Apa sudah saatnya makan siang? Kalau begitu aku pulang sekarang, ya."

"Kau tidak sedang melupakan tugasmu, kan?"

"Alma. Tidak sopan untuk memanggil kakakmu sendiri dengan sebutan 'kau'. Bagaimana kalau hatiku terluka? Coba, minta maaf. Aku ini baik hati. Asalkan adikku memintanya dengan tulus, pasti akan aku maafkan."

"Kau tidak sedang melupakan tugasmu, kan, Sialan?"

"Oke. Aku rasa yang tadi lebih baik. Bisa kita ulangi?"

"Kau tidak sedang melupakan tugasmu, kan, Monyet Mesum?"

"Maafkan aku."

Menatap orang yang sedang menggendongnya sibuk bicara di telepon, Asha Sikha mulai merasa bosan dengan misi yang diembannya.

Kemarin malam, dengan bantuan Kiki yang baru saja kembali dari kantor polisi, mereka akhirnya berhasil melacak sang malaikat yang kabur. Meski begitu, semuanya sudah terlambat. Yang tersisa dari 'si wadah' hanyalah tubuh yang tak bernyawa. Tepat di kepalanya, terdapat sebuah lubang seukuran jari bekas peluru senjata api.

Saat ini, mayat itu masih ada di kediaman keluarga Livia dan disembunyikan dari polisi. Mereka memeriksanya, mencoba mencari hawa keberadaan makhluk lain yang mungkin masih ada di dalam sana. Akan tetapi hasilnya mengecewakan. Sang malaikat telah kabur ke inangnya yang baru

Oleh sebab itulah, pendekar tercerdas sekaligus termesum keluarga Livia pun diturunkan dalam rangka melacak kembali sang malaikat.

Meski begitu, tampaknya, pendekar yang satu ini kurang memiliki motivasi.

Kiki memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Di wajahnya, tergurat sebuah ekspresi tak nyaman. Sebenarnya dia kurang suka dengan barang-barang macam komputer atau ponsel, tapi karena tuntutan pekerjaan, dia harus menahannya untuk sementara ini.

"Kiki... aku lapar," keluh Asha dengan lemas. Gadis itu masih bertahan dekat-dekat dengan syal Kiki yang dalam legenda dikatakan memiliki bau 7 kali lebih busuk dari bangkai sang pemakai.

"Aku juga. Dan lagi, kenapa kau tidak segera turun dari punggungku? Asal kau tahu saja, kau itu bukan adik perempuanku atau semacamnya, lho. Aku tak akan memanjakanmu hanya karena kau lelah sedikit."

"Jahatnya. Aku ini benar-benar lelah!"

"Itu karena kau membawa rompi yang beratnya hampir sama dengan beratmu sendiri! Apa kau tidak sadar itu bisa membuat pertumbuhanmu terganggu? Inilah yang menyebabkan kau tak bertambah tinggi barang semili pun semenjak kita terakhir bertemu."

"Hiyah... mau bagaimana lagi? Aku ini kurang ahli dalam pertarungan jarak dekat."

Mengabaikan perkataan gadis yang masih menempel di punggungnya, Kiki mengeluarkan sebatang rokok dari saku kemejanya. Menggunakan korek api biasa, dia segera menyalakan rokok yang sudah menempel di bibirnya itu dengan cepat.

"Bau."

"Biar."

"Kau masih merokok, juga? Harusnya kau segera berhenti. Riki juga sudah menyuruhmu untuk berhenti, bukan? Aku dengar itu bisa menyebabkan keguguran."

"Jangan menggunakan kata-kata yang tak kau mengerti. Laki-laki itu mustahil keguguran."

"Tapi bagaimana dengan teman sekelasku? Dia laki-laki, tapi dia pernah mengalami keguguran dan mengeluarkan darah warna kuning di celananya."

Seven Deadly Fools (Jilid 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang