BAB IX - PUTRI YANG KELUAR DARI KUBANGAN

113 24 8
                                    

#Bagian 1_Emilia Rosalia

Bukannya aku ingin menyamakan kemalanganmu dengan kemalanganku, dan bukan juga aku ingin menghiburmu dengan menceritakan sesuatu yang lebih buruk dari ceritamu. Tapi, aku mohon... dengarkan saja.

Kisahku.

Cerita hidupku.

Aku ingin berbagi ini denganmu.

Mungkin dengan begitu, kita bisa saling mengerti. Kenapa aku begitu ingin mengubah hidupku? Kenapa aku memilih jalan yang orang lain tak ingin pilih? Kenapa aku malah tinggal di kubangan lumpur yang kotor daripada ruang mewah yang bersih?

Orang lain tak akan mengerti.

Tapi aku yakin kau psti mengerti.

Ini adalah rahasiaku. Tak sepertimu yang dilahirkan di keluarga terpelajar, keluargaku itu orang bodoh semua. Dan karena kebodohan itu, mereka memasuki dunia kriminal tanpa mengerti apapun.

Ayahku seorang pencuri. Dia amat lihai dalam urusan membobol kunci pintu rumah. Selain itu, dia juga pandai mencopet. Setiap korbannya tak pernah sadar kalau mereka sedang kecopetan sebelum mereka meraba saku mereka sendiri.

Ibuku—lebih parah daripada ayahku—adalah seorang PSK. Yah, mungkin bahasa halusnya itu wanita tunasusila, tapi sungguh, mau yang manapun, sama sekali mengubah makna aslinya. Pelacur. Aku lahir dari rahim seorang pelacur. Bahkan besar kemungkinan, kalau aku ini bukan anak resmi ayahku, melainkan sekadar kecelakaan dari pekerjaan ibuku.

Meski begitu, mereka tak pernah mempermasalahkannya.

Sejak umur 7 tahun, aku sudah diajari untuk menipu orang. Kau tahu? Seperti pura-pura tertabrak, pura-pura jadi anak hilang, pura-pura terluka... padahal niat aslinya adalah untuk menarik belaskasihan dari para orang dewasa. Mungkin kau tak tahu, tapi mengemis itu merupakan pekerjaan yang lumayan menghasilkan jika kau paham tekniknya.

Dari sana, aku pun tumbuh menjadi seorang anak yang tak tahu moral. Ketika SD, aku sudah sering mencuri bekal—baik uang atau makanan—teman sekelasku. Nah, mau bagaimana lagi? Saat itu, orang tuaku tak pernah memberiku uang jajan barang sepeser. Ada pun uang hasil mengemisku, tapi itu juga selalu disetorkan kepada mereka.

Bagi ayah dan ibuku, aku ini cuma seorang pekerja yang mereka ciptakan untuk keuntungan semata.

Seragam lusuh, rambut kotor, badan dekil, buku kumal... apa kau bisa membayangkannya? Itu adalah sosok diriku saat SD. Hebat, bukan? Aku bahkan masih tak percaya kalau anak kecil itu adalah diriku yang dulu.

Kemudian, pada akhirnya, aksi mencuri ketahuan juga. Aku segera diadili. Orang tuaku dipanggil dan dinasihati habis-habisan oleh kepala sekolah. Yah... saat itu, ayahku sangat marah padaku. Tapi bukan karena aku mencuri! Melainkan karena aku ketahuan mencuri.

Sungguh, saat itu aku tidak tahu kalau mencuri adalah perbuatan yang amat terlarang.

Semenjak kasusku menyebar, teman-temanku pun menjauhiku. Mereka tak lagi percaya padaku. Tiada hari tanpa ledekan. Pencuri, pencuri, pencuri... itu yang mereka teriakan seraya melempari batu ke arahku.

Huh? Kau tak percaya?

Kalau begitu, apa kau tahu kenapa aku memakai kacamata? Terlalu banyak membaca? Bukan, bukan! Mata kiriku rabun dekat, minus 7. Sangat parah, lho. Jika ingin mendapat pandangan jelas tanpa kacamata, aku harus menutupnya. Tapi itu bukan karena aku terlalu banyak membaca. Ini karena kepalaku pernah terkena batu sampai berdarah-darah. Asli! Kau boleh melihat bekas jahitannya jika kau ingin. Di sini... tertutupi rambutku.

Nah... itu adalah masa lalu yang sangat kelam, tapi masih ada yang lebih kelam dari itu. Sebenarnya hal ini termasuk ke dalam traumaku, tapi karena kau juga sudah menceritakan traumamu... aku kira aku juga harus menceritakannya.

Seven Deadly Fools (Jilid 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang