BAB XII - FARAM & NEILA

107 25 11
                                    

Aku bangga menjadi seorang manusia.

Manusia adalah spesies paling cerdas di dunia ini. Dengan kecerdasan, mereka bisa melakukan segalanya. Mereka bisa bertahan hidup dengan kecerdasan, mereka bisa mencari makan dengan kecerdasan, mereka bisa mengembangkan teknologi dengan kecerdasan, mereka bisa membuat seni dengan kecerdasan, mereka bisa berkomunikasi dengan kecerdasan, dan hal-hal lain lagi yang tak terhitung banyaknya.

Kecerdasan adalah lambang dari keberadaban.

Umat manusia mesti cerdas, berkumpul dengan orang cerdas, melakukan hal cerdas, menciptakan sesuatu yang cerdas, dan juga bersikap cerdas. Dengan begitu, derajat manusia akan naik dan semakin beradab. Itulah... perbedaan manusia dengan makhluk lain. Perbedaan manusia dengan hewan. Perbedaan manusia dengan... iblis. Perbedaan manusia dengan... malaikat.

"Tidak! Aku tak setuju!" ujar gadis di depanku dengan suara cemprengnya yang menyakitkan telinga. Wajahnya tampak merah, tanda bahwa dia sedang marah. "Aku tak setuju. Apa-apaan itu?! Kecerdasan adalah keberadaban? Kau sinting atau semacamnya, ya?"

Aku menghela napas. Percuma kalau berdebat dengan orang goblog. Mereka tak akan mengerti dan bisanya cuma emosi. Oleh karena itu, aku lebih memilih menyerah dan tidur di bangku-ku.

"Hei! Faram! Dengarkan aku!"

"..."

"Faram!"

Kurasakan ada benda dingin yang menyentuh pipiku. Aroma khas menyengat ke dalam hidung. Mendadak, aku merasa khawatir. Aku mengangkat kepalaku dan mendapati wajah gadis itu, Neila, tengah nyengir lebar dengan amat mencurigakan.

"Oi."

"Apa~?" tanyanya, manja.

"Apa yang kau lakukan dengan wajahku?"

"Aku tak melakukan apapun, kok."

"Bohong."

"Yey! Dibilangin ngeyel."

Aku menoleh ke arah jendela dan mencoba berkaca. Tampak sebuah garis bergerigi tergambar di pipiku layaknya sebuah bekas jahitan. Apa ini? Spidol? Pulpen? Apapun itu, sama saja. Aku harus membunuh pelaku yang telah melakukan kejahatan tak bermoral ini.

"Neila!" seruku, tapi gadis itu sudah menghilang dari hadapanku. Dia kabur dan saat ini sedang membuka pintu kelas.

Aku mengejarnya, tapi gerakan gadis itu amat mirip dengan monyet. Aku adalah Homo Sapiens. Makhluk tercerdas di dunia ini, bukan makhluk terlincah di dunia ini. Jadi mana mungkin aku bisa menyusul makhluk jadi-jadian itu? Biarlah. Akan aku tunggu di kelas saja. Nanti juga datang.

***

Aku menunggunya di kelas.

Aku menunggunya... tapi sampai lonceng pulang berbunyi, gadis itu tak kunjung juga muncul. Entah itu karena terlalu takut padaku atau memang sedang malas saja, dia telah melakukan apa yang namanya praktik bolos sekolah. Aku menyambar tas selendang bergambar sapi yang tergeletak di kursi belakang dengan penuh emosi, berjalan ke pojok kelas, lalu melemparnya ke dalam tong sampah.

Atau... itulah yang tadinya ingin aku lakukan.

Tapi entah kenapa, aku tak bisa melakukannya.

Seorang gadis lain, kali ini berwajah lugu, datang menghampiriku. "Huh... Faram? Pergi ke mana Neila?"

"Kenapa tanya aku juga?"

"Yah... kau kan pengasuhnya."

"Memangnya dia itu anakku?!"

Huna terkekeh. "Kalian memang sangat akrab, ya?"

"Akrab alismu!"

***

Seven Deadly Fools (Jilid 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang