Di malam hari yang mendung. Di bawah langit gelap tanpa bintang yang bersinar. Ketika angin dingin berhembus menusuk tulang. Di dalam kesunyian membalut seluruh sudut. Seorang gadis berjalan menyusuri rute setapak di samping sungai.
Dari penampilannya, gadis itu tampak berumur antara 13 – 14 tahun. Dengan rambut sebahu yang tergerai, tubuh mungil yang terselimuti piama, dan kaki jenjang tak beralas.
Wajah gadis itu terbilang cantik, tapi tak memiliki ekspresi dan kesan hidup. Mirip orang mati yang berjalan. Melangkah pelan dengan mata yang sekali-kali berubah jadi merah.
Tak lama kemudian, tiba-tiba saja tiga orang pria berpakaian preman datang dan mengepung gadis itu.
"Nona? Sedang apa malam-malam begini?" tanya salah seorang pria itu dengan sopan.
"Duh. Benar-benar berbahaya. Untung saja kami yang menemukanmu." Pria kedua menyorotkan senternya ke dada si gadis. "Rumahmu di mana?"
Kendati demikian, si gadis tak bereaksi. Seolah tak mendengarkan. Seolah sudah tak peduli lagi dengan segala keadaan di sekitarnya. Dia memaku pandangannya ke depan tanpa berkedip sekali pun.
Pria kedua mengangkat tangannya seraya tersenyum. "Tenang saja! Kami bukan orang jahat, kok! Asli!"
Merasa bosan, pria ketiga menguap. "Ah, benar, benar. Kami bukan orang jahat. Kami murid dari SMA Livia U... huh. Sebentar. Bukannya dia adik Ketua Yakov?"
"Heh?"
Seketika, dua pria yang lain ikut memperhatikan wajah si gadis.
"Uwah! Benar! Nona Hafya!"
"Apa yang sedang Anda lakukan malam-malam begini?!"
Tanpa membuat perubahan raut muka, Hafya menghela napasnya. "⌠Rbarhyem. Xurh rhemekerher leker.⌡"
"Nona Hafya?"
Cleb...
Mendadak, Hafya menusukkan tangan kecilnya ke perut pria pertama. Terdengar suara daging yang sobek dan desis usus yang termuntahkan.
"Eh?"
Hening sesaat.
Butuh waktu beberapa detik bagi 3 pria berpakaian preman tadi untuk memahami keadaan ini.
Sementara itu, Hafya sendiri tak ingin menunggu lebih lama lagi dan melompat ke belakang pria kedua. Dia membuka mulutnya selebar mungkin dan mulai menggigit leher pemuda itu hingga nadinya putus. Sebentuk cairan merah hangat pun menyembur ke arah pria ketiga.
"Ah... ah... arrrrrh! A-apa-apaan ini?!"
"ARRRRRGGH!"
"PE-PERUT..."
Saat ini, iris mata Hafya benar-benar berubah jadi merah. Layaknya darah. Layaknya cairan yang mengalir di jantung manusia. Bersinar membelah gelapnya malam tanpa bintang ini.
Hafya menguatkan rahangnya. Dengan sekuat tenaga, dia menghisap darah pria kedua sampai tetes terakhir. Mulutnya yang mungil kini tampak berwarna segar bak daging mentah.
Selesai dengan mangsa pertamanya, Hafya mencoba menyerang pria ketiga. Tapi tentu saja tak semudah itu. Pria ketiga, dengan perasaan takut yang memenuhi dadanya, mengeluarkan pisau dari sakunya.
"Me-menjauh! Menjauh! Pergi!"
Hafya mengusap bibirnya yang masih meneteskan darah. "⌠Lokode. Woqemyoir rbeve erloir yoiq rhekiqiwyoir miyid Ximer.⌡" Lalu gadis itu pun kembali melangkahkan kakinya tanpa ragu.
Pria ketiga merasa tak punya pilihan lain. Sembari berteriak keras, dia menerjang pada Hafya dan menusukkan pisaunya ke bahu gadis itu.
Sleb.
Terdengar besi yang menusuk ke daging. Sebuah lubang tercipta di bahu Hafya.
Tapi tak ada darah yang keluar.
Sama sekali tak ada.
"A-apa?"
"⌠Hari Akhir akan segera tiba, wahai anak manusia.⌡"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Deadly Fools (Jilid 2)
HumorBanyak cerita yang mengisahkan tentang seorang manusia atau iblis yang memiliki kekuatan hebat dan berakhir menguasai dunia. Biasanya, para penguasa itu bertindak sewenang-wenang dan membawa bumi ke dalam kehancuran. Sekarang, pertanyaanya adala...