Sacrifice

1.6K 171 37
                                    

Namjoon

In Ha terdiam sepanjang perjalanan. Aku meliriknya. Sekilas, lalu mencoba kembali fokus ke jalanan yang sedikit padat lalu lintasnya. Aku menghembuskan nafas, ku putar radio yang menyiarkan lagu lama Wiz Khalifa. In Ha masih terdiam, menatap ke luar jendela. Ia mengabaikan aku sedari tadi.

Yah, In Ha pantas marah padaku. Aku tak menepati janjiku untuk membawanya bertemu Jimin kemarin. Aku mencari waktu yang tepat. Dan kini, sudah terlewat tiga hari sejak aku berjanji.

Kulirik In Ha lagi, ia tertidur, kurasa. Kami melewati jalanan yang lebih sepi. Memasuki kawasan pegunungan yang cukup dingin. Aku menepikan mobil sebentar. Kutarik selimut di jok belakang. Aku terdiam, menatap satu buket bunga yang kubeli sesaat sebelum menjemput In Ha. Aku menggeleng. Kuselimuti tubuh kurus In ha dan melanjutkan perjalanan.

"In Ha ya, bangunlah, kita sudah sampai," kataku sambil membelai rambut In Ha yang menutupi wajahnya. Kutarik hingga ke belakang telinganya. In Ha menggeliat, ia mengerjapkan matanya dan menatap ke luar jendela. Hampir gelap. "Keluarlah,"

"Shireo!" teriak In Ha. "Aku tak mau keluar,"

"Jimin sudah menunggumu," kataku.

In Ha memalingkan wajahnya. Tubuhnya mendadak gemetar. Aku tak pernah menduga reaksi In Ha akan seperti ini.

"In Ha ya, hampir malam," kataku.

In Ha menggeleng. Ia menendang selimut hingga terjatuh.

"Sebentar saja, lihatlah Jimin," kataku lagi.

"Oppa!" teriak In Ha. Aku menelan ludah. "Kenapa membawaku kemari? Melihat Jimin? Apa yang bisa  kulihat? Ha?"

"In Ha ya, mianhae," ucapku lirih.

Bulir-bulir bening jatuh turun ke wajah cantik In Ha. Ia menangis sejadi-jadinya.

"Oppa, berapa kali aku bertanya pada semua orang. Dimana Jimin, dimana dia? Kenapa dia tak segera muncul menemuiku? Tak ada seorang pun yang menjawab. Apakah dia sakit? Apakah dia baik-baik saja? Tak ada yang memberikan jawaban padaku! Bahkan aku tak bisa menelponnya. Apakah itu tidak aneh?" tanya In Ha dengan suara serak. Ia menyentuh dadanya. "Apakah Oppa pikir aku bodoh. Kenapa membawaku ke tempat ini? Jiminie... Apakah dia meninggal karena aku? Apakah dia yang memberikan matanya padaku?"

Aku mengepalkan kedua tanganku. Terdiam. Aku tak tahu bagaimana reaksi In Ha jika aku mengatakan yang sebenarnya.

"Apakah aku juga tak akan mendapatkan jawaban?" tanya In Ha lagi. Ia menunduk dan semakin terisak. Aku menyentuh bahunya, tentu saja tangan In Ha dengan keras menepisku.

"In Ha ya, uljima," kataku pelan. "Itu semua keputusan Jimin. Itu keinginan terakhirnya,"

In Ha tak menanggapi kata-kataku. Hanya isakan tangisnya yang terdengar di dalam mobil. Ingin ku peluk tubuhnya yang begitu gemetar saat ini. Tapi nuraniku melarang. Aku menjerit dalam hati. Semua ini kesalahanku. Aku yang menyebabkan seluruh kekacauan ini.

"Seharusnya Oppa melarangnya...seharusnya Oppa tidak memberinya izin," kata In Ha di sela isakan tangisnya. "Aku tak menginginkan mata ini. Aku tak ingin melihat lagi jika ada yang harus terluka karenaku. Jiminie...aku bahkan tak pernah benar-benar menyukainya. Tapi...wae? Oppa wae? Karena aku... Jiminie..."

"Bukan kesalahanmu," kataku. Aku menyentuh bahunya, kali ini In Ha tak menolak ku. In Ha masih menggeleng. Aku yakin sekarang hatinya dipenuhi rasa sesal. Aku tahu. Aku merasakan hal yang sama. Rasa sesak yang tak bisa kutahan lagi.

In Ha masih terisak ketika ia akhirnya meraih bunga yang kusiapkan. Ia membuka sabuk pengamannya.

"Aku bisa menemukan Jimin sendiri," kata In Ha saat aku menyusulnya keluar mobil. Aku mengangguk pelan. Ini sudah sangat gelap, aku sedikit khawatir, tetapi In Ha terlanjur meninggalkan aku.

Oppa!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang