Painting

1.3K 164 6
                                    

Jimin

Aku meraih ponselku yang ada di atas nakas. Hujan deras mendera Seoul sejak sore tadi. Eomma menjemputku langsung dari sekolah karena khawatir aku akan kehujanan. Karena itu, aku tak jadi menjenguk In Ha. Padahal aku ingin sekali melihat wajah cantiknya.

Aku menggeliat, kutekan tombol-tombol di ponsel. Haruskah aku menelpon In Ha? Ini sudah lewat jam sepuluh malam. Apakah ia sudah tidur? Aku terduduk dan menekan nomor In Ha. Setidaknya aku harus mendengar suaranya. Meskipun hanya sesaat.

Aku menempelkan ponsel di daun telingaku. Gugup, aku menggigit ujung kukuku dengan gelisah. In Ha tak kunjung menjawab panggilan teleponku. Hah, mungkin ia sudah terlelap. Ia juga tengah sakit. Seharusnya aku tak menganggu waktu istirahatnya.

Aku hampir mematikan panggilan saat kudengar suara In Ha dari seberang. Aku berdehem sesaat, kutempelkan kembali ponsel di telingaku.

"In Ha ya..." panggilku. "Kau belum tidur?"

"Oh, aku tak bisa tidur," kata In Ha lemah.

"Kau sakit apa?" tanyaku.

"Ehmm, aku akan segera sembuh," kata In Ha. Kudengar tawa ringannya.

"Benarkah? Aku ingin melihatmu," kataku lagi. In Ha terdiam. Aku juga. Apakah aku mengatakan sesuatu yang salah? "Hmmm, kau benar-benar akan segera ke sekolah bukan?"

"Kita lihat nanti," jawab In Ha.

"Hei...jika kau tidak datang ke sekolah, aku yang akan mengunjungi rumahmu," kataku tegas. In Ha tertawa pelan. Kudengar desah nafasnya. Oh, sial! "Aku bersungguh-sungguh, In Ha ya,"

"Jangan kemari," kata In Ha. "Aku akan segera kembali sekolah,"

"Apakah kau terlalu takut ke sekolah karena insiden kemarin? Jangan sampai kemalaman di sekolah," kataku. In Ha hanya bergumam tidak jelas. "Aaaah...kapan lukisanku akan selesai?"

"Eeyyy...pelan-pelan, aku bukan pelukis yang profesional," protes In Ha. Aku tertawa. "Bahkan pelukis terkenal juga perlu waktu untuk membuat karya terbaik,"

"Jadi...itu akan menjadi karya terbaikmu?" tanyaku. In Ha tertawa. Sungguh aku ingin melihat In Ha di depanku saat ini.

"Aahh, molla molla," kata In Ha. Ia menghentikan tawanya dan terdiam. Kami hanya sama-sama bernafas dalam keheningan malam. Aku mendengar nafas In Ha dengan seksama, ia seperti musik pengantar tidur. Apakah In Ha sudah mengantuk dan memilih untuk diam? "Jimin ah," panggil In Ha tiba-tiba. "Orang tuaku, sepertinya mereka mulai menyukai jika aku memilih seni,"

"Eh?"

"Mereka mulai mendukungku," kata In Ha. Aku tersenyum, In Ha pasti merasa sangat senang sekarang. "Kupikir aku bisa melanjutkan sekolahku di jurusan seni. Bukankah ini bagus?"

"Tentu saja. Ini sangat bagus untukmu," kataku bersemangat. Aku tak bisa menahan senyumku lagi. "Universitas mana yang akan kau masuki?"

"Ehmmm, entahlah," kata In Ha. "Eomma dan Appa, kupikir mereka yang akan memutuskan untukku,"

"Heii, kita harus berada di kampus yang sama,"

"Waeyo?"

"Tentu saja agar aku bisa selalu mengejar-ngejar dirimu," kataku. In Ha tertawa. "Berjanjilah, kau akan mengatakan padaku pilihan kampus yang mereka pilih,"

"Oh..."

"Yaksok?"

"Sepertinya aku tak ingin berada satu sekolah denganmu," kata In Ha. Aku meringis. "Aku akan memilih sekolah khusus seni dan kau...kau bahkan tak bisa menggambar,"

Oppa!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang