Tale Six

3.1K 276 14
                                    

Tale Six

"Bagaimana kamu bisa menghentikan perasaan seseorang untuk orang lain? Bagaimana kamu bisa menghentikan angin yang berembus?"

-Gu Family Book-

Henry memberikan selembar kertas ke hadapan Samudera. Matanya menatap Samudera dengan marah, bisa-bisanya anaknya itu menyembunyikan hal ini darinya. Dia berjalan mendekati Samudera dan menampar wajah Samudera hingga sudut bibirnya sedikir berdarah.

"Apa ini? Beraninya kau melakukan ini?" teriaknya marah.

Samudera menunduk, menatap kertas yang dilemparkan oleh Papanya. Pipinya terasa panas, kenapa juga rasanya masih sakit setiap kali Henry menamparnya. Tidak. Bukan wajahnya yang sakit. Namun sesuatu dalam hatinya yang terasa sakit.

"Mau jadi apa kau nanti jika terus bolos sekolah. Kau membuatku malu saja. Harusnya kau mencontohi Karang-"

"Kenapa tiba-tiba Papa peduli padaku?" potong Samudera, dengan berani membalas tatapan Henry. "Selama ini Papa diam aja waktu aku melanggar aturan, saat Papa dipanggil karena aku berkelahi Papa diam, waktu aku ikut tawuran Papa juga diam. Lalu kenapa hanya karena bolos sekolah Papa rela luangin waktu cuma buat ketemu denganku saja "

"Hanya bolos katamu."

"Pasti ada sesuatu kan?" potong Samudera lagi dengan tenang. "Pasti ada sesuatu yang membuat Papa langsung menemuiku setelah melihat surat itu. Tapi aku ingin tahu dari mana Papa dapat surat itu."

Henry mengalihkan perhatiannya ketika menjawab pertanyaan Samudera. "Memangnya Fatma tidak memberitahuku tentang semua yang kau lakukan di sekolah."

Samudera diam, berpikir; tidak mungkin jika bu Fatma memberikan surat itu pada Papanya. Pasti ada orang lain.

"Ke mana kau pergi saat bolos?"

"Apakah itu penting?"

"Samudera! Berhenti bolos sekolah, berhenti melakukan hal-hal bodoh yang bisa membuatku malu. Harusnya kau sadar siapa kau sebenarnya."

Samudera menelan ludahnya dengan getir. "Menjadi anak seorang Jaksa terkenal bukanlah keinginanku. Dan jangan pernah melarang apa yang kuinginkan."

Tatapan Henry kian menajam saat menatap Samudera. "Kau marah jika Papa melarangmu bolos? Kau tidak suka jika Papa melarangmu menemui wanita itu."

Samudera memejamkan matanya, jadi karena itu Papanya merelakan waktu untuk menamuinya. Karena Henry melarangnya untuk menemui wanita itu. "Terserah apa yang Papa katakan, aku nggak peduli."

Samudera mengambil tasnya dan berjalan ke luar apartemen. Henry mengikuti Samudera dan menarik bahunya.

"Ikut dengan denganku. Papa akan mengantarmu ke sekolah," katanya.

Samudera diam tak menyahut, dia melanjutkan langkahnya hingga berhenti tepat di depan gedung apartemennya begitu juga dengan Henry yang berjalan di sampingnya.
"Ingat kataku. Jangan pernah bolos sekolah apalagi menemui wanita itu."

"Jika aku menolak."

Henry tersenyum miring. "Papa akan mengirimu ke Belanda."

Samudera menutup pintu mobil Henry dengan kencang lalu pergi meninggalkan Papanya di belakang sana. Dia tidak berniat pergi ke sekolah, dia sudah tidak berselera lagi pergi ke sana, untuk saat ini dia hanya ingin sendiri dan menemui wanita yang menjadi pertengkarannya dengan Henry.

***

Rumah yang semula rapi itu kini sudah berantakan, di mana-mana terdapat mainan. Di sofa terdapat robot Bumblebee yang sedang bersuara, di atas tivi ada robot Batman, sedangkan di bawah karpet terdapat mainan lego yang berserakan. Sementara di luar rumah-lebih tepatnya di teras belakang seorang anak lelaki sedang bermain dengan pakaian kotor oleh tanah.

If I Could Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang