Tale Twenty Eight (End)

3.7K 255 61
                                    

Tale Twenty Eight

"Sesungguhnya ...
Bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Jika kita bisa menerima, maka kita bisa melupakan. Tapi jika kita tidak bisa (mau) menerima. Kita tidak akan pernah bisa melupakan."

-Novel Hujan-

6 bulan kemudian ...

Ayya memasukan barang-barangnya ke dalam koper, mulai dari baju, buku dan lainnya yang harus dia bawa ke London sana. Setelah melakukan pelatihan selama enam bulan akhirnya Ayya resmi pergi ke London untuk menimba ilmu di Oxforf University sebagai mahasiswa hukum.
Dia ingin jadi pengacara karena Samudera ingin dirinya berdiri di ruangan sidang.

Ayya menghela napas panjang, ayah ibunya tidak bisa pergi mengantarnya ke bandara karena mereka harus pergi ke Bandung menengok tantenya yang tiba-tiba jatuh sakit. Hingga akhirnya ketika barang-barang yang diperlukannya sudah masuk semua, Ayya menggenggam erat foto Samudera yang Ayya sengaja cetak jika sewaktu-waktu dirinya merindukan Samudera.

Sejujurnya sampai sekarang dia belum melupakan Samudera. Cowok itu masih setia bersemayam dalam hatinya, hanya saja dia berusaha buat menepati janjinya pada Samudera untuk menjalankan hidupnya dengan baik dan mengejar mimpi mereka sampai dapat.

Terakhir, Ayya mengambil bunga tulip dari atas mejanya dan membawanya bersama dengan koper ke luar rumah.

"Pak, bisa kita mampir dahulu? Saya ingin pergi ke suatu tempat," katanya pada sopir taksi.

Sopir taksi itu menganggukan kepalanya dan mengarahkan mobilnya menuju ke tempat yang dimaksud oleh Ayya.

Dia berdiri di sana, menatap nisan yang bertuliskan nama cowok yang selama ini belum juga bisa dilupakannya. Setelah enam bulan sejak kematian Samudera, ini pertama kalinya Ayya mengunjungi makam Samudera. Dia menghela napas panjang sambil menyimpan bunga tulip putih di samping nisan tersebut.

"Maaf baru datang," katanya. Angin berembus pelan di sekitar Ayya. "Aku nyiapin diri buat liat kamu dalam wujud lain. Sampai sekarang pun aku masih belum siap buat kehilangan kamu."

"Aku mau pamitan sama kamu, aku bener-bener masuk Oxford seperti yang kamu inginkan. Kamu harus kasih aku hadiah loh, aku susah payah buat bener-bener bisa masuk ke sana. Hanya cukup dengan kamu bahagia di sana maka semua utangmu lunas.

"Kamu bahagia kan? Tuhan pasti menempatkanmu di surga sana." Ayya tersenyum kecil. "Meski kamu anaknya bandel minta ampun tapi kamu nggak pernah ninggalin solat atau ngaji. Pasti Tuhan mempertimbangkan amal perbuatan kamu.

"Aku juga pengen bilang: aku bahagia. Bahagia banget walau di sini nggak ada kamu. Aku bakal berusaha buat ngejar mimpi kita, aku nggak bakal ngecewain kamu, meski jika memang aku bakal gagal nanti aku bakal tetap berusaha. Terima kasih juga untuk semuanya. Untuk perlindunganmu, untuk cinta yang kamu berikan, untuk senyuman yang selalu kamu tunjukin, untuk kebahagiaan yang kurasakan saat bersamamu. Kamu mantan pacar sekaligus sahabat terbaik yang pernah kumiliki seumur hidupku. Bahagia di sana ya. Aku juga bakal bajagia di sini, Samudera ..."

Ayya menghapus air matanya, dia memandangi nisan itu sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan pemakaman. Sekarang, dia merasa lega, seolah beban di pundaknya diangkat seketika. Mulai sekarang dia akan memulai hidup baru, menjadi Ayya baru tapi tidak dengan melupakan sosok cowok yang selama ini mendiami hatinya.

If I Could Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang