Tale Eighteen

2.8K 265 18
                                    


Tale Eighteen

"Yang pertama kali minta maaf adalah si pemberani.
Yang pertama kali memaafkan adalah si kuat.
Yang pertama memberi adalah si kaya ...
Yang pertama memulai adalah si beruntung.

Dan yang pertama kali memaafkan dengan tulus adalah si bahagia."

–Tere Liye–

"Dan harapan lo bener-bener terkabul?" tanya cowok yang nampak di layar laptop.

Samudera tersenyum kecil. "Seperti yang lo liat, tapi gue seneng, seenggaknya Ayya nggak bakalan pergi dalam waktu dekat."

"Ya, Ayya emang nggak bakalan pergi tapi lo di sini yang bakal pergi. Apa lo udah gila atau emang udah bosan hidup. Lo nggak mikir panjang apa waktu mohon kayak gitu," omel cowok itu kesal, tak habis pikir dengan jalan pikiran Samudera yang aneh.

Lagi-lagi Samudera tersenyum. "Dan biarin Ayya mati gitu aja? Gue merasa sangat bersalah sama Ayya, sama orangtuanya. Bagaimana pun juga Ayya kecelakaan karena gue, andaikan saja gue nggak maksa Ayya buat kencan mungkin tiga taun yang lalu Ayya nggak perlu kesakitan, Ayya nggak perlu sampai harus pergi ke Bali cuma buat ngehindari gue.

"Bahkan sampai sekarang gue masih tetep merasa bersalah. Maka itu, apa yang gue bisa berikan bakal gue berikan bahkan jika yang diperlukan adalah nyawa gue, pasti gue berikan."

"Apa lo nggak mikirin orang lain? Bagaimana reaksi Papa-mama kalau tau lo sakit parah kayak gini. Mereka pasti terkejut, mereka juga akan kecewa karena lo nggak ngasih tau apa-apa sama mereka."

Samudera terdiam, matanya menatap cowok itu. "Lo tau apa yang paling gue nggak inginin dari kehidupan gue?"

Cowok itu mendesah panjang, menyerah untuk menebak jalan pikiran Samudera.

"Ngancurin kebahagiaan orang lain," ujarnya pelan.

"Sam."

"Dulu, Papa-mama pisah karena gue, gue yang ngancurin kebahagiaan mereka."

"Berapa kali gue bilang, itu semua bukan salah lo. Mereka aja yang egois milih pisah tanpa mikirin akibatnya."

Samudera tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Gue juga maunya gitu, tapi tetep aja. Tiap kali gue mikirin Papa mama, pasti yang gue rasain hanyalah rasa bersalah. Kalau aja dulu gue lebih berusaha buat berubah nggak nakal lagi mungkin saat ini Mama nggak bakalan pergi, semuanya nggak bakalan hancur.

"Bukan hanya kebahagiaan keluarga aja yang udah gue hancurin. Gue juga udah ngancurin kehidupan Ayya. Kalau aja kecelakaan itu nggak terjadi, Ayya nggak bakalan semenderita sekarang, Ayya nggak bakal sekecewa sekarang kalau tau gue udah bohongin dia.

"Gue ini pembawa sial. Siapapun yang gue deketin pasti hidup mereka hancur. Maka itu sebisa mungkin gue ngejauh dari mereka. Gue ngejauhi Papa sama Mama Hania biar nanti waktu gue pergi mereka nggak bakal sedih atau seenggaknya nggak bakal terlalu mikirin gue. Yang terpenting, gue juga nggak mau ngehancurin keluarga buat kedua kalinya. Dan gue masih belum berani ngomong sama Mama kalau ini gue. Gue nggak mau buat Mama kecewa karena gue masih nakal padahal gue udah janji buat jadi anak baik.

If I Could Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang