Tawuran

1.2K 83 4
                                    

Rasi menatap tubuhnya di depan cermin. Keningnya sedikit biru karena kejadian tadi. Raka berkali-kali membela diri karena kejadian itu tidak sengaja, tetapi Rasi terlanjur benci. Akibatnya, Rasi tidak jadi pergi ke perpustakaan karena kepalanya yang pening.

Tok tok tok.

Rasi melangkah menuju pintu, membukanya. Ada Bu Nina dengan sepiring makanan yang ia pegang. Mereka lantas masuk dan duduk di ruang tamu.

"Kamu pasti belum makan kan?" Bu Nina menyimpan makanan itu di atas meja.

"Hehe Bunin tau aja" Bunin adalah sebutan Rasi kepada Bu Nina.

"Rasi, bunin mau ngomong serius. Tapi bunin gak enak" Bu Nina menundukkan pandangannya.

"Ngomong aja kali bu, kaya ke siapa aja" perasaan Rasi mulai tak enak.

"Rasi tuh udah ibu anggap sebagai anak sendiri. Bunin bukan mengharapkan imbalan, tapi bunin lagi butuh uang. Kamu sudah 3 bulan tidak membayar kontrakkan. Itu bukan uang yang sedikit. Bunin tau kamu orang yang mandiri. Tapi mohon maaf, anak bunin yang di kampung kecelakaan dan harus operasi. Bunin bingung harus cari uang kemana lagi. Rencananya bunin bakal pulang besok malam" Bu Nina masih menunduk.

Tubuh Rasi bergetar menahan tangis. "Besok ya bunin pulang nya? Rasi gak bisa janji bisa bayar besok bu. Satu juta lima ratus ya? Insya Allah Rasi bakal bayar besok, tapi mungkin gak semuanya" rasi menarik nafasnya berat. "Semoga anak ibu cepat sembuh ya"

Bu Nina beranjak sambil mengelus pundak Rasi. "Udah jangan dipikirin. Kamu fokus belajar aja. Maafin bunin ya malah bilang kaya gitu. Yaudah bunin pulang dulu, jangan lupa makan"

*

Rasi melangkah gontai di koridor sekolah yang sudah mulai ramai. Pandangannya terarah pada lantai yang ia pijak dan sepatunya yang lusuh. Dia masih memikirkan bagaimanamembayar uang kontrakkan? Sedangkan dia tidak mempunyai uang untuk membayarnya.

Rasi memasuki kelas. Menatap kepenjuru ruangan dan menemukan Ratih yang juga baru datang. Rasi langsung mendekap tubuh Ratih sambil bergetar. Air mata yang ia tahan akhirnya keluar juga. Entahlah, baginya Ratih lah pundak ternyaman setelah ayah dan ibunya. Ratih lah yang selama ini menjadi penopang Rasi ketika dirinya mulai terjatuh. Ratih adalah sahabat terbaik Rasi, meskipun mereka baru mengenal sewaktu kelas X.

"Rasi" Ratih membalas pelukan Rasi. "Lo kenapa?"

Rasi tidak bergeming.

"Rasi kan kuat, masa pagi-pagi udah nangis. Katanya mau jadi wonder woman. Wonder woman itu jarang nangis loh, atau mungkin gak pernah nangis?" Ratih mengelus punggung Rasi penuh kelembutan.

"Kenapa ayah sama ibu ninggalin gue Rat? Kenapa? Gue terlalu bodoh buat hidup di dunia yang kejam ini tanpa mereka" Rasi semakin mengencangkan pelukannya. Sedangkan murid yang sudah ada di dalam kelas menatap mereka bingung.

"Takdir. Gue tau prinsip hidup lo. Lo percaya sama takdirkan? Ini semua takdir tuhan"

Tepat setelah Ratih mengucapkan kata itu, Raka datang dengan bibir yang sudah bersiap berteriak. Tetapi, dia katupkan lagi bibirnya itu ketika melihat Rasi memeluk Ratih erat. Raka berjalan melewati mereka berdua mencoba mengorek informasi. Bukan apa-apa. Pasalnya, Raka tidak pernah melihat Rasi menangis.

"Gue harus bayar uang kontrakan sejuta lima ratus. Lo tahu, gue gak punya uang sebanyak itu. Novel yang udah gue kirim, gak ada konfirmasi sampai sekarang" Rasi melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya. Lalu dia menggeleng cepat. "Gak. Gue gak papa kok"

Ratih menarik nafasnya berat. Tak tega melihat sahabatnya ini. "Gue emang gak punya uang buat bantu lo. Tapi, lo bisa tinggal di rumah gue Rasi"

Mendengar itu Raka terduduk di kursi yang tepat di belakang Rasi. Menelingkupkan wajahnya dan menajamkan telinganya, agar semua tidak curiga.

Galaksi ke2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang