Peninggalan

1.1K 73 8
                                    

"Bi, liat Rasi?" Raka menteng tasnya.

"Loh? Rasi udah berangkat dari tadi. Kalian tuh kenapa? Beberapa hari ini bibi perhatikan kok jarang ngobrol bareng."

Raka hanya tersenyum, "Raka berangkat dulu ya Bi."

Seperti biasa, Raka pergi ke sekolah dengan menggunakan ninja merahnya. Dia menembus jalanan yang ramai dengan kecepatan layaknya sedang balapan di sirkuit. Hingga di depan ada nenek-nenek yang menyebrang sembarangan. Untung saja Raka sempat mengerem motornya tepat di hadapan sang nenek.

Semua orang yang melihat itu, melemparkan sumpah serapah kepada Raka. Padahal jelas-jelas nenek itu yang salah. Raka-pun memarkirkan motornya dan menuntun nenek itu menyebrang jalan, lantas meminta maaf.

Raka kembali melajukan motornya dan berhenti tepat di parkiran warkop. Raka memang tidak pernah memarkirkan motornya di sekolah. Selain penuh, juga sangat susah untuk melarikan diri atau sering disebut dengan istilah mabal.

Raka berlari memasuki halaman sekolah. Seperti biasa, Raka akan jadi pusat perhatian para cewek. Raka sendiri merasa risih karena terus dipandang layaknya dia adalah sebuah mangsa yang harus diterkam. "Gue emang ganteng, tapi jangan liatin gue mulu dong. Risih gue."

Bukannya berpikir, cewek-cewek itu malah berteriak histeris layaknya Raka telah menyatakan cinta. "Akhirnya Raka ngomong juga!"

Benar-benar. Apa tidak ada hal lain yang pantas ditatap selain ketampanan?

Raka sedikit berlari untuk menghindari cewek-cewek itu. Inilah sebab Raka selalu datang siang, dia tidak mau dipandang seperti tadi.

Raka memasuki kelas dengan harap-harap cemas, mengedarkan pandangannya berharap seseorang yang ia cari ada. Tapi, seseorang itu sama sekali tak terlihat.

"Ratih, lo liat Rasi gak?"

Ratih menatap Raka dengan sudut matanya dan mengangkat bahu acuh membuat Raka berdecak sebal.

Raka menyimpan tasnya sembarang di meja orang lain. Lantas dia kembali berlari keluar kelas, namun dia bertemu dengan sang guru. "Mau kemana kamu Raka?"

Raka malah semakin mengencangkan larinya, "Maaf bu saya kebelet BAB!"

Raka mencari Rasi ke seantero sekolah, tapi tak ada Rasi di mana-mana. Raka sudah menelfonnya beberapa kali tapi tak pernah di angkat. Pesannya pun tak pernah di balas.

Raka-pun memilih untuk pergi ke warkop. Sesampainya di sana, ada Aldi dan Revan yang tengah merokok.

"Kenapa lo, Rak?" Revan menatap Raka sedangkan Aldi membuang muka.

"Rasi gak masuk sekolah, gue gak tahu dia di mana."

Revan-pun mengeluarkan handfonenya bermaksud untuk menghubungi Rasi. Akan tetapi, sama halnya dengan Raka, tidak ada jawaban sama sekali.

"Ck!" Aldi bangkit dan membuang puntung rokoknya sembarang. "Gak usah bawa-bawa orang buat terlibat sama kesusahan yang lo buat. Ini semua gara-gara lo!" Aldi-pun berlalu.

Revan bangkit dan mencoba menahan Aldi karena tak terima dengan apa yang Aldi katakan. Akan tetapi Raka menahannya, membuat Revan kembali terduduk.

"Ini emang salah gue."

*

"Bu Nin pikir kamu sudah lupa sama Bu Nin Ras," Bu Nina terduduk di depan Rasi.

Sekarang, Rasi sedang berkunjung ke rumah Bu Nina. Bu Nina pemilik kontrakkan yang dulunya ia tempati.

"Kamu gak sekolah?" kembali Bu Nina berbicara.

Rasi hanya menggeleng. "Gimana kabar anak ibu?"

Bu Nina tersenyum, "Alhamdulillah dia sudah membaik."

Untuk beberapa saat Rasi terdiam sebelum akhirnya kembali berbicara, "Maafin Rasi ya Bu Nin, Rasi jarang berkunjung lagi. Rasi gak mungkin lupa sama Bu Nin. Bu Nin udah Rasi anggap sebagai ibu Rasi."

"Bu Nin ngerti kok, anak sekolahan kan sibuk."

Hening. Suasana menjadi hening. Rasi tertunduk dengan pemikiran yang saling bertabrakan anatara rasa pedih, kecewa dan rindu. Sebelum akhirnya Bu Nina memberikan sebuah kotak kecil kepada Rasi.

"Peninggalan dari ibu dan ayah kamu."

Rasi membuka kotak kecil itu. Sedetik kemudian Rasi meneteskan air matanya. Kotak itu berisi sebuah kalung berliontin yang berbentung bintang.

"Maaf Bu Nin baru ngasih itu sekarang. Bu Nin rasa sekarang adalah waktu yang tepat, bukan kemarin."

Rasi tidak menjawab, dia menutupi mulutnya agar tidak mengeluarkan isakan terlalu keras.

Untuk beberapa saat Bu Nina membiarkan Rasi menangis. Biarlah sesak di dadanya menghilang seiring air mata terjatuh. Membiarkan pikiran berkelebat ke masa lalu. Jika kenangan membuat kita tahu apa itu arti masa depan, untuk apa di lupakan? Biarlah. Karena seseorang tidak akan pernah abadi.

"Kenapa ibu sama ayah meninggal? Mereka Cuma pergi ke pasar,kan?"

Bu Nina menghapus air matanya yang ikut mengalir kala melihat Rasi menangis, "Sebenarnya waktu itu mereka pergi ke pasar untuk membeli kalung itu ke toko mas. Bu Nin tidak tahu pastinya, tetapi para saksi berbicara bahwa ibu kamu hampir tertabrak motor. Melihat itu ayah kamu tidak diam dan menyelamatkan ibu kamu. Tetapi pergerakan mereka kalah cepat dengan cepatnya motor itu. Keduanya tertabrak dan sempat di larikan ke sebuah puskesmas terdekat. Bu Nina sempat ke sana. Jika dilihat dari luar, luka mereka tidak begitu parah. Tetapi dokter menyebutkan bahwa otak mereka tersumbat darah di dalam akibat pembenturan yang keras. Bu Nin sempat mengobrol dengan mereka, dan mereka menitipkan kalung itu untukmu. Tepat setelah itu, mereka menghembuskan nafas terakhir bersamaan."

Rasi menenggelamkan wajahnya di tangan, lantas menangis sejadi-jadinya.

*

"Bi, Rasi udah pulang?" Raka menghampiri Bi Suci dengan sebucket bunga di tangannya.

"Udah, dari tadi ngurung di kamar terus," Bi Suci menatap bunga itu, "Buat Rasi?"

Raka berbalik, "Bukan, Raka mau ke tempat mama."

Raka menaiki tangga dengan langkah yang cepat, tetapi ketika sampai di pintu kamar Rasi, tangannya begitu ragu untuk sekedar mengetuk pintu.

Dengan tekad bulat, Raka mengetuk pintu itu perlahan. "Ras, gue emang bodoh. Atau, lo boleh nganggap gue jahat, karena itu faktanyakan? Gue gak mau egosi dan nyuruh lo maafin gue," Raka menghela nafas, "Gue Cuma mau ngingetin, bahwa lo adalah galaksi ke2 gue setelah mama. Kalo lo gak keberatan, mungkin sekarang lo mau pergi sama gue buat liat tempat galaksi pertama itu."

Tak ada jawaban apapun dari dalam kamar. Hingga membuat Raka putus asa dan berbalik berniat pergi ke makam sendiri. Tetapi, sepersekian detik kemudian terdengan suara knop pintu di buka.

"Orang jahat gak mungkin numpangin tempa," Rasi keluar dari kamar, "Gue ikut. Gue mau berterimakasih sama mama lo karena udah ngelahirin lo yang sekarang jadi penyelamat gue."

*

"Rak pelan-pelan ya, bunganya nanti pada terbang," Rasi berteriak ketika diboncengi Raka menuju makam.

Raka tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala di balik helmnya. Jalanan memang tidak pernah sepi. Kendati sekarang sudah sore, dan banyak mobil berlalu lalang karena para pekerja baru saja pulang.

Semburat kuning di ufuk barat perlahan mulai terlihat. Burung punai ikut menyebrang jalan di atas langit sana. Angin yang bercampur dengan polusi seakan meraja lela menguasai dunia.

Rasi dan Raka-pun turun dari motor dan berjalan melewati pemakaman. Makam mama Raka dan makam ayah, ibunya Rasi lumayan berdekatan. Hingga saat mereka sampai di makam mama Raka, ada seseorang yang tengah berdiri di depan makam Ayah dan Ibu Rasi.

"Aidan, ngapain lo di sini?"

*

Hiii. gimana-gimana? Penasaran gak sebenernya Aidan lagi apa di pemakaman? enggak ya? penasaran aja we:'D

jangan lupa voment ya!^^

11 Maret 2017

Galaksi ke2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang