MARI BERONANI
Mataku terpekur, pada sudut waktu yang tergusur
di antara bangku dan meja meja
dalam gedung dewan di tengah kota.Tikus tikus berkemeja, di antara
singasinga perkasa
asyik berdebat tentang huru-hara
beberapa di antara tidur pura-pura
beberapa di antara sibuk berkaca-kaca
melihat rambut telah kusut rupanya.He, dia lupa
kereta besinya telah butut kiranya
hingga angin menerpa muka dan gaun gaun sutra.
Mungkin juga rupiah yang Ia punya tak cukup untuk menengok dunia.Maka-
ditulisnya sepucuk layang cinta
pada sang pemimpin yang mereka bilang dermawan dan bijaksanaPak, berilah kami kereta juga liburan ke luar negara
biar otak kami tak lagi nelangsa,
memikirkan rakyatmu yang terus mengadu domba.Kiranya dia lupa
bermasa-masa rakyat kehilangan beberapa kotak tawa.Lihatlah!
di sudut kota, Mang Udin menghapus air mata
karena sang istri mati terlindas kereta.
Di dekat salemba, Kang Mimin menaruh seroja, pada kekasihnya yang mati menjadi tumbal devisa.
Di Kampung seberang, gadis gadis kehilangan masa depan, sebab hidung hidung belang telah mengendusnya sejak setengah matang.
Di dekat perigi, Budi kecil sibuk mencuci keladi, sebab Mamak tak lagi memasak nasi.Ah ... sudahlah!
Jangan mengeluh lagi
mari beronani
saat puas tak terpenuhi
juga bahagia tak terbeliAh ... sudahlah!
Mari beronani, tak payah debat saling hujat, ciptakan bahagia diri, tak payah menunggu lagi.Ah ... sudahlah!
Mari beronani, tak payah tuding sana sini
sebab serapahmu hanya sampah yang melimbah ruah.Ah ... sudahlah!
Mari beronani, tak usah hujat menghujat, sakit menyakiti.Ah ... sudahlah!
Rupanya aku telah banyak bermimpi, menengok berita di televisi, membuatku lupa akan tugas diri.
Sibuk menggeram yang tak pasti, mendendam pada pertiwi yang tak lagi asri."Nak, lekas berdiri!
Nasimu telah basi, gandummu tak panen lagi!" Seru Bapak menyadarkan diri.
Lekas kuusap basah pada sudut mulut yang mendesah, ambil langkah dan goyangkan cangkul pada tanah resah.Hongkong, 11 Februari 2017.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Kelelawar
Poetry"Aku ingin mengabadikanmu dalam setiap goresan tinta, Lalu memelukmu dalam pandangan hampa, sekali lagi menunggumu yang sia-sia"