Taylor terbangun dari tidur ketika ponselnya bergetar. Dia tak langsung mengangkat panggilan masuk dari Zayn tersebut. Gadis itu menatap sekeliling dan masih mendapati diri di tempat yang sama, sejak hampir sepuluh jam lalu.
Kamar rumah sakit, tempat sang Ibu dirawat.
Dokter bilang, Andrea membutuhkan pengawasan medis setidaknya sampai seminggu ke depan. Darahnya sangat rendah, ditambah lagi dengan depresi yang diderita setelah ditinggalkan sangat banyak masalah oleh sang suami. Yang paling terakhir, kehilangan tempat tinggal. Itu sangat menyakitkan.
Taylor mengusap mata berulang kali sambil menguap sebelum memutuskan untuk mengangkat panggilan dari Zayn yang nampaknya tak kunjung menyerah untuk menghubunginya.
"Pag—"
"Taylor! Oh God. Di mana kau sekarang? Aku baru mendengar kabar tentang...rumahmu." Sangat terdengar jelas jika Zayn sedikit merasa tak enak membahas rumah keluarga Swift tersebut.
Taylor diam dan menundukkan kepala, berusaha setengah mati untuk menahan tangis. Semalaman sudah dia menangis dan dia bahkan tak berani melihat pantulan wajahnya sendiri di cermin. Pasti sangat menyedihkan.
"Taylor? Kau mendengarkanku, kan?!"
Suara Zayn membuat Taylor buru-buru menyeka air mata yang sudah terlanjur muncul di pelupuk matanya sambil menjawab, "Aku masih mendengarmu, Zayn dan ya, rumahku disegel oleh pemerintah."
"Kau tidak datang ke kampus, aku menunggumu! Sekarang kau di mana?"
Taylor terkekeh geli mendengar nada panik seorang Zayn Malik itu. "Zaynie, aku baik-baik saja. Jangan cemaskan aku dan well, aku ada di rumah sakit sekarang. Aku lupa namanya, tapi tak jauh dari rumahku. Dekat taman bermain anak-anak."
"Selesai kelas, aku akan segera ke sana. Tunggu aku. Jangan melakukan sesuatu yang bodoh, Swizzle."
Taylor terkekeh. "Sesuatu yang bodoh? Memangnya kau pikir, apa yang akan kulakukan, hah?"
"Tidak ada. Dosen sudah masuk kelas. Aku akan menghubungimu saat aku berangkat dari kampus nanti. Sampai berjumpa, Swizzle."
"Sampai jumpa, Zaynie."
Setelah itu panggilan berakhir, meninggalkan Taylor dalam kesunyian lagi. Taylor bangkit dari kursi yang sudah didudukinya sejak semalam untuk tidur. Gadis itu menatap sang Ibu dengan iba.
"Mom, apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita sudah tak memiliki apapun." Taylor meraih tangan sang Ibu, menggenggamnya erat sambil menundukkan kepala. Tangan Ibunya sangat dingin, Taylor menggosokkan tangannya di tangan sang Ibu, membuat kehangatan. Lagi, air mata mengalir dari pelupuk mata gadis itu.
Taylor kembali duduk di kursi, mengecup singkat punggung tangan sang Ibu. "Aku tak mengerti dengan semua ini, tapi aku yakin seratus persen, Dad tak mungkin melakukan hal hina seperti ini. Aku yakin, dia hanya dijebak oleh seseorang. Aku sangat percaya pada Dad."
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan seorang dokter beserta dua orang suster memasuki ruangan. Taylor buru-buru bangkit dari kursinya dan menyeka air mata yang membasahi pipi. Sang dokter yang adalah pria berusia seperti orangtuanya tersenyum kepada Taylor.
"Selamat pagi, Nona Swift."
"Pa—pagi juga, dokter."
Taylor berusaha setengah mati untuk membalas sapaan dokter...Desmond Styles? Nama itu yang tertera di nametag yang menempel di bagian kanan jas putihnya.
Tunggu. Nama belakangnya sangat tidak asing.
"Aku akan memeriksa kondisi Ibumu selama beberapa saat. Lebih baik sambil menunggu pemeriksaan selesai, kau pergi ke kantin di basement dan sarapan. Sup kari di kantin sangat enak. Apalagi hangat-hangat di saat hujan seperti ini." Dokter Styles berkata ramah seraya mulai mengenakan stetoskop-nya.
Taylor tak bergeming dari tempatnya. Dia hanya diam, melihat dokter Styles sibuk memeriksa sang Ibu yang masih tertidur pulas entah karena pengaruh obat atau apapun itu. Tapi Taylor mendapati sesuatu yang ganjil selama pemeriksaan.
Dokter Styles beberapa kali menatap suster yang berada bersamanya lalu, kembali memeriksa kondisi Andrea Swift. Taylor dapat melihat jelas dokter itu membuka mata sang Ibu dan menyenternya. Jantung Taylor menyelos. Apa lagi ini?
Pemeriksaan yang semakin menegang itu membuat kaki Taylor melemas. Apalagi saat dokter Styles mulai menggunakan kardiograf beberapa kali, membuat tubuh Andrea Swift terangkat karena kejutan tersebur. Taylor masih diam menyaksikan semua itu. Tangannya menyatu. Memanjatkan doa kepada Tuhan.
Akhirnya, dokter Styles menghela nafas dan mengucapkan kalimat yang tak pernah Taylor bayangkan akan dia dengar.
"Waktu kematian 9.39 pagi."
Kamar hening sampai Taylor tiba-tiba bertanya dengan suara terbata-bata.
"A—apa yang kau—kau katakan tadi?"
Wajah ramah dokter Styles sudah tergantikan dengan wajah yang sangat sulit Taylor pahami. "Maaf. Dia sudah meninggal beberapa jam sebelum kami memeriksanya."
Taylor menggeleng. "Tapi dia masih bernafas saat aku bangun tadi! Periksa yang benar, dokter! Kau bilang, dia hanya darah rendah dan depresi!" Taylor berkata keras.
Dokter Styles menatap gadis muda itu sesaat sebelum menundukkan kepala. "Suster, pindahkan jenazah Nyonya Swift ke ruang jenazah dan Nona Swift, kau bisa ikut bersamaku mengurus administrasi."
"Tidak! Bukankah sudah kubilang tadi?! Dia masih bersamaku! Dia masih hidup! Kau yang tak bisa memeriksanya dengan baik!"
Taylor berhambur menghampiri tubuh kaku sang Ibu. Air mata benar-benar tak terbendung lagi. "Mom! Jangan bercanda! Bukankah baru semalam kita sudah berjanji akan menjenguk Dad?! Kau juga sudah berjanji akan mendampingi sampai Dad dinyatakan tidak bersalah! Sampai keluarga kita kembali seperti semula! Mom! Bangun!"
Desmond Styles memilih bungkam dan hanya berdiri menatap apa yang terjadi di hadapannya saat ini.
*****
"Kenapa kau tidak menyelamatkan wanita itu, Dad? Bukankah kau dokter yang paling dibanggakan di rumah sakit ini?"
Des Styles mengangkat satu alis akan pertanyaan yang tiba-tiba muncul dari pemuda yang baru saja datang tersebut. Pemuda yang adalah putra tunggalnya, Harry Styles.
Sebenarnya, Harry sangat jarang mengunjungi rumah sakit tempat sang ayah bekerja. Bahkan mungkin ini adalah kali pertama dia datang, sejak kunjungan terakhirnya lima tahun lalu, tepat saat kakeknya meninggal dunia di rumah sakit ini.
Sangat kejutan bagi Des ketika pintu ruangan diketuk dan tak lama setelahnya, Harry muncul dengan muka masam dan langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Des.
"So, she is the girl, right?" Des tersenyum tipis menggoda dan membuat Harry memutar bola matanya.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Dad! Jawab pertanyaanku! Kenapa kau tidak menyelamatkan wanita itu dan membiarkannya hidup setidaknya sampai suaminya bebas?"
Des menghela nafas sebelum menjawab tenang, "Aku bukan Tuhan, Harry. Aku tak berhak mengatur hidup-matinya seseorang. Lagipula, wanita itu sudah pergi sebelum sempat aku selamatkan."
"Gadis itu akan sendirian dan dalam bahaya besar." Harry bergumam namun, cukup jelas sampai Des dapat mendengarnya.
Des berdecak. "Kalau begitu, apa yang kau tunggu lagi? Apa kau masih ingin menjaganya dari jauh atau mulai mencoba mendekat? Aku masih tak mengerti, tapi kau sangat peduli dengannya."
Harry tersenyum tipis. "Kau bahkan tak mengerti apa yang ada dalam pikiranku, Dad."
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight
FanfictionHarry Styles menyukai Taylor Swift, jauh sebelum akhirnya mendapat kesempatan untuk berada di dekat gadis itu. Tapi tak lama setelah kesempatan itu datang, Harry diberi dua pilihan sulit dan dia selalu berharap pilihannya benar.