"Bukankah itu yang kau inginkan? Lulus dengan cepat dari sana dan bergabung dengan mereka? Sekarang kau mendapat undangan khusus, apalagi yang kau cemaskan?"
Des bertanya sambil melipat tangan di depan dada kepada sang putra yang duduk berhadapan dengannya, menundukkan kepala. Harry menghela napas.
"Bukankah kuliahku masih ada tiga sampai empat semester lagi yang harus kulalui? Besok juga seharusnya aku mengikuti Ujian Akhir Semester 5."
Senyuman tipis muncul di bibir Des. "Kau tidak ingin melibatkan perasaan ke urusan masa depanmu, kan, Harold?"
Perkataan Des membuat Harry mengangkat wajah dengan cepat dan menggelengkan kepala. "Ti—tidak. Perasaan apa? Ini hanya...aku hanya ingin menyelesaikan pendidikanku dengan baik."
"Walaupun, sebenarnya pendidikan itu sama sekali tak berguna untukmu? Hanya sekedar formalitas?"
Harry menahan napas mendengar pertanyaan Des yang jelas-jelas menggodanya. Harry tersenyum ragu-ragu sebelum berkata, "Aku tahu, aku tahu, Dad."
"Sudah mengurus semuanya, kan? Berkas-berkasmu? Termasuk...urusan hati?" Lagi-lagi Des menggoda putranya yang kali ini, memutar bola matanya.
Harry bangkit dari kursinya. "Besok aku ada ujian. Aku harus belajar. Sampai bertemu lagi, Dad." Harry berbalik dan hendak melangkah pergi namun, langkahnya sempat terhenti saat Des berkata dengan santainya.
"Speak now or forever hold your peace, Harold. Kau sudah menunggu terlalu lama, ingat?"
Harry menahan senyuman sebelum melangkah ke luar dari ruang kerja sang ayah di Gestrude Hospital tersebut.
*****
Hari demi hari Taylor coba untuk jalani sebaik mungkin. Sungguh, dia sudah tak masalah lagi dengan tatapan aneh atau sinis para mahasiswa dan mahasiswi di kampusnya. Taylor juga melewati kelas-kelasnya dengan baik, hingga hari ini, Ujian Akhir Semester dan mata kuliah pertama yang baru saja Taylor lalui adalah Akuntansi Perpajakan.
Seperti biasa, Taylor akan menjadi orang terakhir yang ke luar dari kelas menunggu yang lain ke luar terlebih dahulu. Setelah memastikan tak ada lagi orang yang lalu lalang di kelas, barulah Taylor membuka jadwal berikutnya dan melangkah menuju ke kelas tersebut.
"Bahasa Inggris di kelas 1302? Berarti kita satu kelas."
Taylor nyaris menjatuhkan jadwal UASnya ketika mendengar suara sangat tiba-tiba tersebut. Gadis itu menoleh dan mendapati Harry yang sudah berdiri di sampingnya, menertawakannya.
"Kau mengagetkanku!"
"Bukankah kau suka kejutan?" Harry bertanya diselingi dengan senyuman ketika Taylor mengerucutkan bibir.
Pemandangan Harry dan Taylor yang melangkah bersama-sama bukanlah hal yang aneh lagi di UCLA. Mungkin awalnya memang sangat aneh melihat mereka bersama, tapi sekarang semuanya merasa sudah sangat terbiasa. Meski beberapa pertanyaan masih mengganjal seperti: Bagaimana bisa mereka dekat? Apa Harry buta? Friends with benefit? Mungkin mereka hanya terpaksa dekat?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul mengingat memang tak pernah ada interaksi berarti antara Taylor dan Harry sejak awal. Tiba-tiba saja mereka bisa sedekat ini.
"Bagaimana ujian pertamamu? Sulit?" Harry bertanya, mengalihkan pembicaraan.
Taylor menggeleng. "Tidak begitu. Dad sering memberitahuku tentang pajak dan aku sudah membaca baik-baik buku pajakku semalaman. Untuk teori, aku percaya seratus persen atas jawabanku. Untuk perhitungan, entahlah. Kadang, aku kurang teliti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight
ФанфикHarry Styles menyukai Taylor Swift, jauh sebelum akhirnya mendapat kesempatan untuk berada di dekat gadis itu. Tapi tak lama setelah kesempatan itu datang, Harry diberi dua pilihan sulit dan dia selalu berharap pilihannya benar.