Selesai makan siang, Harry mengajak Taylor pergi entah ke mana. Harry tak banyak bicara dan Taylor juga tak begitu tahu jalan jadi, daripada terus bertanya dan membuat Harry kesal kepadanya, lebih baik Taylor diam dan menurut. Lagipula, Taylor tak mau tiba-tiba Harry pergi dan meninggalkannya sendiri. Harry satu-satunya teman yang dia miliki.
Taylor hanya dapat tercengang saat motor yang Harry kendarai berhenti tepat di halaman parkir rumah sakit tempat Ibunya meninggal dunia, satu bulan yang lalu. Harry melepas helm yang digunakan, membuat Taylor buru-buru turun dari motor seraya ikut melepas helm yang digunakannya.
Harry tersenyum tipis melihat kebingungan di wajah Taylor. Pemuda tampan itu menautkan helmnya untuk menutupi kaca spion kanan motor dan tanpa berkata apapun meraih helm yang Taylor pegang dan meletakkannya untuk menutupi spion kiri.
"Apa yang kita lakukan di sini?"
"Bukan di sini. Aku akan membawamu ke tempat penuh kedamaian." Harry menjawab dengan cengiran lebar di bibir merah mudanya.
Taylor memicingkan mata kepada Harry. "Kau ingin aku mati dan hidup dalam kedamaian bersama Tuhan?"
Harry terkekeh mendengar pertanyaan itu. "Tidak sekarang, Swift. Masih terlalu cepat. Banyak yang harus kau lakukan sebelum menghadap-Nya."
Kemudian, Harry melangkah mendahului Taylor memasuki rumah sakit. Taylor buru-buru melangkah mengikuti pemuda berambut ikal kecokelatan itu meski cukup sulit untuk mengimbangi langkah besar Harry.
Awalnya, Taylor pikir Harry hanya datang ke rumah sakit untuk menemui Ayahnya yang baru Taylor ketahui sebagai Kepala di rumah sakit ini. Bukan hanya kepala, tapi juga pemegang saham utama. Itu berarti, Harry berasal dari keluarga kaya dan Taylor tak habis pikir jika pemuda itu benar-benar kaya.
Harry tak mengunjungi ayahnya. Taylor hanya dapat melihat sambil menahan napas ketika Harry berlalu begitu saja saat melewati pintu putih dengan papan nama dr. Des Styles. Harry terus saja melangkah menjelajahi lorong rumah sakit yang rasanya tiada ujung ini, sampai akhirnya dia menghentikan langkah sesampainya di halaman belakang rumah sakit.
Pemuda itu menoleh dan tersenyum kepada Taylor. "Kita sampai."
Taylor mengernyir, menatap sekelilingnya. Ada seperti hutan di hadapannya saat ini dengan banyak pepohonan rindang. Rerumputan hijau juga menjadi karpet di sini. Masih tampak asri. Udaranya juga sangat sejuk, berbeda dengan udara tadi ketika sampai di halaman parkir depan rumah sakit.
Angin sepai-sepoi menerbangkan hela rambut Harry dan juga Taylor. Taylor yang awalnya merasa biasa saja, secara perlahan menyunggingkan senyuman merasakan hembusan angin yang benar-benar menyejukkan. Udara di sini sangat berbeda dengan udara di tempat lain.
"Udara di sini sangat menenangkan. Biasanya, tiap sedang dalam mood buruk, aku ke sini dan hanya membaringkan tubuh di atas rerumputan sampai malam datang." Harry berkata sambil mulai duduk di rerumputan dan Taylor mengikuti apa yang dilakukan Harry.
Harry menundukkan kepala dan tersenyum tipis sebelum mulai membaringkan tubuh. "Bangunkan aku satu jam dari sekarang, okay?"
Taylor memutar bola mata kesal. "Kau mengajakku ke sini untuk menungguimu bangun tidur? Holyshit."
Harry terkekeh geli mendengar protesan Taylor. Tangannya bergerak terlipat di belakang kepala, menjadi bantalnya. Pemuda beriris hijau itu memejamkan mata sambil berkata, "Kau juga tidurlah. Rumput di sini bersih dan nyaman, seperti springbed. Kau akan sangat berterima kasih karena kuajak ke sini."
Tak ada jawaban sama sekali dari Taylor. Harry kembali membuka mata dan menoleh untuk mendapati Taylor yang nyatanya benar-benar menuruti perkataan Harry. Gadis itu berbaring tak jauh dari Harry, tapi dengan mata yang fokus menatap ke langit-langit yang cukup cerah di pukul tiga sore.
Harry memandangi sisi kanan wajah gadis cantik tersebut. Gadis yang sudah hampir tiga tahun dikenalnya, dengan sangat baik meski, baru kali ini mereka bisa sedekat ini.
Masih teringat jelas di pikiran Harry saat pertemuan pertamanya dengan Taylor, gadis paling ceria yang pernah dia temui. Sampai kampus, dia akan menyapa siapapun yang ditemuinya dan menebar senyuman ke siapapun. Dia sangat ramah dan bersahaja. Ditambah lagi dia juga cukup pintar dan dia juga pastinya memiliki antrian pria yang menyukainya. Tapi satu pria yang selalu ada di dekatnya adalah...
Zayn Malik.
"Aku tak lagi melihat Zayn di dekatmu. Kalian bertengkar?" tanya Harry menatap lekat gadis yang berbaring tak jauh darinya.
Taylor memejamkan mata dan tersenyum tipis sebelum membukanya lagi sambil menjawab, "Bukankah aku sudah bilang padamu? Aku tak punya siapapun lagi di sekitarku. Termasuk Zayn." Taylor menoleh, iris birunya bertemu dengan iris hijau Harry. "I think he hates me now."
Harry diam sejenak dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Menatap langit biru sedikit memudar. Kini, giliran Taylor yang menatap sisi kiri wajah Harry. Pemuda itu memiliki bentuk rahang yang baik, hidung mancung dan memang tak dapat dipungkiri, dia tampan.
Tapi tak pernah Taylor melihat Harry bersosialisasi dengan orang lain, seperti berteman dan sebagainya. Taylor ingat betul, dia sudah mengetahui Harry sejak awal dia masuk kampus. Dia selalu melangkah seorang diri dan mengabaikan banyak orang yang menyapanya. Tapi tak heran. Harry juga sosok yang pintar dan dia tak butuh siapapun karena dia dapat mengerjakan sesuatu sendiri, tanpa bantuan siapapun. Beberapa kali Taylor mencoba mendekatinya, pemuda ini justru mendorong Taylor menjauh dengan segala keketusannya.
Well, dulu, Taylor pernah sangat tergila-gila dengan Harry. Gadis itu sangat penasaran dengan sosok tertutup itu. Tapi bukannya semakin dekat, Harry malah membuat Taylor kesal dengan sikap dingin dan ketusnya. Jika kau ingat, Taylor pernah bertabrakan dengan Harry dan Harry bahkan malah membentaknya keras.
Sekarang, bisa sedekat ini dengan Harry, rasanya sangat aneh.
"Dia tidak membencimu. Dia hanya merasa lebih baik jika kalian tidak dekat seperti dulu." Komentar Harry membuat Taylor menghela nafas.
"Aku mengerti dia punya pacar sekarang, tapi kenapa juga harus bertingkah seakan-akan aku dan dia adalah orang asing yang tak saling mengenal."
Harry mengangguk. "Ingin aku bertanya langsung padanya?"
Taylor terkekeh. "Kau bercanda? Dia bahkan pernah mengakui sendiri jika dia sangat tidak menyukaimu. Mana mau dia menjawab pertanyaanmu, lagipula bukankah sudah kukatakan? Jikapun dia tak membenciku, sekarang aku dan dia adalah orang asing."
Kemudian, keduanya saling bungkam karena pikiran masing-masing. Keduanya mulai memejamkan mata, perlahan sebelum masuk ke dunia khayal masing-masing.
*****
Taylor berhenti tertawa saat motor yang Harry kendarai berhenti tepat di depan gerbang masuk apartment tempat Taylor tinggal. Taylor turun dari motor seraya membuka helm dan hendak menyerahkan kepada Harry, tapi Harry menahah sambil menggelengkan kepala.
"Simpan saja. Aku malas membawa helm lagi di motorku."
Bibir Taylor mengerucut mendengar ucapan Harry namun, tak lama dia tersenyum mengingat hal-ha yang baru saja dilalui bersama Harry. Taylor masih tak percaya dia dan Harry tertidur selama dua jam di rerumputan belakang rumah sakit kemudian, dibangunkan oleh petugas kebersihan. Jika tidak dibangunkan, mungkin keduanya akan bablas sampai besok pagi.
"Terima kasih untuk hari ini, Styles."
Harry tersenyum dan mengangguk. "Tidur yang nyenyak, Swift. Sampai bertemu besok."
Harry menutup kaca helmnya dan mulai melajukan motor menjauhi area apartment Taylor. Taylor baru melangkah masuk setelah motor Harry tak terlihat.
Sampai di depan pintu apartment, Taylor sudah mendapati dua kardus di sana dengan sebuah tanda terima di atasnya. Taylor membaca tanda terima itu dan menghela napas setelahnya.
"Kau benar-benar sudah membenciku, ya, Zayn?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight
FanfictionHarry Styles menyukai Taylor Swift, jauh sebelum akhirnya mendapat kesempatan untuk berada di dekat gadis itu. Tapi tak lama setelah kesempatan itu datang, Harry diberi dua pilihan sulit dan dia selalu berharap pilihannya benar.