"Hei, Dad. Bagaimana kabarmu?"
Taylor bertanya pelan kepada sang ayah yang terlihat gusar dan benar-benar menghindari tatap mata dengan Taylor. Miris melihatnya. Dulu, yang mengajarkan Taylor untuk terus ceria dan bersemangat tiap saat adalah sang ayah, Scott. Tapi Scott yang ada di hadapannya saat ini jelas sangat berbeda.
Gadis itu menghela napas dan menundukkan kepala. Hening sesaat dan Scott memilih untuk bungkam sedari tadi. Bahkan saat petugas lapas memberitahu jika Taylor ingin mengunjungi Scott, pria itu malah menolak dan meminta si petugas memerintahkan Taylor untuk pulang. Taylor kekeuh menemui sang ayah.
"Hari ini tepat ulangtahun ke 42 Mom. Aku tak bisa pergi ke makamnya jadi, aku memutuskan untuk merayakan ulangtahun Mom di sini, bersamamu." Taylor mengangkat wajah. Hatinya sakit melihat Scott yang memburuk.
"Dad? Kau mendengarku, kan? Kita tak punya waktu banyak. Mereka hanya memberiku izin sepuluh menit untuk menemuimu. Itupun dengan kaca ini sebagai pembatas." Taylor menyentuh kaca yang memang menjadi pembatas antara dia dan Scott saat ini.
Perlahan, Scott mengangkat wajah dan hati Taylor mencelos. Matanya berair dan bibirnya bergetar. Tak butuh waktu lama, tangis Scott sudah pecah dan entah kenapa, Taylor juga ikut menangis.
"Aku menyesal tak bertemu dan mengantar Andrea ke peristirahatan terakhirnya." Scott berkata sesenggukkan. "Aku sudah berjanji padanya untuk membuktikan jika aku tak bersalah. Aku sudah berjanji padanya untuk...aku tak tahu lagi harus bagaimana."
Seandainya tak ada kaca sialan ini, mungkin Taylor sudah berhambur untuk menyeka air mata sang ayah lalu, memeluknya erat. Tapi jangankan memeluk, ruang gerak mereka terbatas.
Perlahan, Scott menyeka air mata dan tertawa dipaksakan kepada Taylor. "Bagaimana hidupmu? Bagaimana kuliahmu? Apa kau bisa tidur dengan nyaman? Apa kau makan dengan teratur?"
Pertanyaan bertubi-tubi itu membuat Taylor terkekeh seraya menyeka air matanya. Taylor tersenyum tipis dan menjawab, "Semua berjalan dengan baik, Dad. Aku mencoba peruntungan di bidang menulis. Aku mengirimkan beberapa cerita pendek atau puisi ke majalah. Setidaknya, itu yang bisa kulakukan untuk bertahan hidup."
Scott tersenyum tipis. "Kau terlihat buruk. Bagaimana jika kau makan lebih banyak dan juga istirahat saja? Tubuhmu juga semakin kurus. Andrea pasti akan kesal jika tahu anaknya melupakan jadwal makannya."
Taylor mengerucutkan bibirnya. "Ah, aku tahu. Mom akan menjadi orang pertama yang marah saat aku tak makan. Andai saja dia ma—," Taylor tak melanjutkan ucapannya dan menundukkan kepala. Tangisannya lagi-lagi pecah begitu saja mengingat sang Ibu.
*****
Setelah seminggu penuh dengan kegiatan dalam rangka ulangtahun kampus, akhirnya hari ini kegiatan kembali ke semula. Taylor seperti biasa datang lebih awal dari yang lain, meski sangat jarang dia bisa lebih awal dari seorang Harry Styles.
Taylor tahu Harry selalu datang lebih awal darinya. Tapi Harry tak langsung pergi melakukan absensi. Dia akan melakukan absensi atau mengambil jadwal setelah Taylor. Kemudian, mereka berbincang singkat sambil berjalan ke kelas sebelum akhirnya berpisah jika kelas mereka berbeda.
Hari ini, Taylor beruntung karena dia satu kelas dengan Harry. Setidaknya, Taylor masih memiliki satu orang teman, yaitu: Harry dan kehadiran Harry benar-benar merubah segalanya. Sadar atau tidak, baru seminggu mereka lebih dekat, sekarang Taylor tak ragu lagi menceritakan semua rahasianya kepada Harry.
"Cerita pendek pertamaku akan diterbitkan di koran terbaru! Kau harus membacanya, okay?" Taylor berkata penuh semangat saat Harry hanya tersenyum tipis kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight
FanfictionHarry Styles menyukai Taylor Swift, jauh sebelum akhirnya mendapat kesempatan untuk berada di dekat gadis itu. Tapi tak lama setelah kesempatan itu datang, Harry diberi dua pilihan sulit dan dia selalu berharap pilihannya benar.