Semua yang terjadi dalam kurang dari tiga bulan belakangan benar-benar tak pernah telintas sebelumnya dalam pikiran seorang Taylor Swift. Rasanya seperti mimpi. Baru kemarin dia merasa sebagai manusia paling beruntung sedunia kemudian, Tuhan memutar balik segalanya dan membuat Taylor merasa tak pantas lagi berada di dunia.
Taylor menunggu di dalam kelas terakhirnya sampai tersiswa hanya beberapa mahasiswa atau mahasiswi di kampusnya. Taylor bahkan sudah memasang jadwal jika dia akan ke luar dari kelas tepat pukul empat sore, kecuali hari Rabu di mana tim basket dan tim cheers akan berlatih sampai pukul enam. Itu berarti Taylor akan menunggu sampai pukul enam di hari itu, setidaknya sampai dia bisa pulang kembali ke apartment dengan tenang tanpa harus menghadapi tatapan sinis yang lain.
Harry satu kelas dengan Taylor di kelas terakhir tadi. Setelah tidur di dalam ruang kesehatan, Harry meminta Taylor menuju ke kelas terlebih dahulu. Harry baru muncul sepuluh menit sejak kelas di mulai dan duduk di kursi paling belakang kelas. Kemudian, saat kelas berakhir, dia langsung melangkah ke luar tanpa mengucapkan kata-kata apapun kepada Taylor.
Padahal, baru saat makan siang Taylor mengira jika Harry mungkin bisa menjadi teman baiknya. Tapi perkiraan Taylor salah. Sekarang, memang sangat sulit untuk mempercayai seseorang.
Taylor melirik jam di layar ponsel yang menunjukkan pukul lima lewat lima belas sore. Gadis itu segera bangkit dan menyelempangkan tasnya, melangkah meninggalkan kampus menuju tempat tinggal sederhananya yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama lima belas menit.
Selama perjalanan, Taylor terus memikirkan bagaimana kelangsungan hidupnya kelak. Dia memang memiliki tabungan, tapi diatak bisa terlalu beketergantungan pada tabungan yang tak seberapa itu. Beruntung, Andy berbaik hati membayar biaya sewa apartment Taylor untuk tiga bulan ke depan. Jika tidak, mungkin tabungan Taylor hanya cukup untuk membayar biaya sewa, tanpa makan, minum dan membeli kebutuhan lain.
Dia harus mencari uang. Dia harus mempunyai sumber penghasilan. Dia harus segera mendapat pekerjaan. Dia harus bisa membiayai hidupnya sendiri.
"Taylor!"
Taylor yang tengah sibuk dengan pikirannya terdiam sejenak mendengar panggilan tersebut. Perlahan, dia menoleh dan hatinya mencelos melihat siapa yang tengah melangkah cepat menghampirinya. Pria yang mengabaikannya sejak beberapa saat lalu. Pria yang dulu dekat dengannya dan sekarang, berubah drastis.
Zayn Malik.
"Ada beberapa barangmu yang tertinggal di rumahku ketika kau menginap. Aku ingin mengembalikan kepadamu, tapi aku tak membawanya sekarang. Bisa kau beri aku alamat tempat tinggal barumu?"
Taylor menatap Zayn dengan perasaan tak karuan. Gadis itu berusaha untuk tegar sebelum berkata, "Aku akan mengirimkannya lewat pesan."
"Aku sudah mengganti nomor ponselku. Sejak sebulan lalu."
"Oh, baiklah."
Taylor menahan napas sebelum meraih notes dan pulpen di dalam tas kemudian, menuliskan alamat tempat tinggalnya yang baru sebelum menyodorkan kepada Zayn.
"Terima kasih. Aku akan mengirimkan barangmu itu secepat mungkin. Sampai jumpa lagi."
Pemuda itu melangkah masuk kembali ke dalam mobil Chevrolet hitam yang diparkirkan di tepi jalan dan langsung melajukan mobilnya menjauh.
Taylor merasa sangat seperti orang asing untuk pemuda yang dulu selalu berjanji selalu ada di sisinya tersebut.
"Hei,"
Taylor dengan cepat menoleh was-was saat merasakan sesuatu menyentuh pundaknya. Namun, dia dapat bernafas lega mendapati seorang Harry Styles-lah yang ternyata menepuk pelan pundaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight
FanfictionHarry Styles menyukai Taylor Swift, jauh sebelum akhirnya mendapat kesempatan untuk berada di dekat gadis itu. Tapi tak lama setelah kesempatan itu datang, Harry diberi dua pilihan sulit dan dia selalu berharap pilihannya benar.