14 : Louis & Eleanor

312 60 6
                                    

Harry hanya dapat diam sementara, gadis pirang di hadapannya masih berusaha untuk menghentikan tangisannya sendiri. Ini sudah hampir lima belas menit sejak keduanya tiba di dalam mobil Harry. Mobil? Ya, mobil. Hari ini, Harry membawa mobil Chevrolet hitam yang baru saja ke luar dari bengkel setelah menginap selama hampir dua minggu.

"Baik, aku sudah selesai."

Harry terkekeh mendengar Taylor mengucapkan kalimat tersebut sambil menyeka air mata di pelupuk matanya dengan sapu tangan Harry. Taylor memicingkan mata ke pemuda itu sebelum berkata, "Aku sedang menangis! Setidaknya, kau melakukan sesuatu untuk menghiburku! Jangan hanya menontonku seperti tadi!"

"Apa yang kau ingin aku lakukan selain menontonmu tadi? Membiarkanmu menangis di bahuku lalu, mengelus pundakmu sambil memohon supaya kau berhenti menangis? Damn, ini dunia nyata, bukan drama Korea, Tay!"

Taylor mengerutkan kening mendengar ucapan Harry dan Harry hanya menatapnya bingung. Pemuda berambut kecokelatan itu menggaruk tengkuk lehernya. Aku tidak salah bicara, kan?

Harry baru hendak kembali buka suara, tapi Taylor sudah membekap mulut pemuda itu dengan telapak tangan kanannya. Kemudian, Taylor meletakkan jari telunjuk kirinya di depan bibir, mengisyaratkan agar Harry diam dan bodohnya, Harry mengangguk menurut.

"Okay, stop. Aku berusaha melupakan kejadian tadi. Aku akan menganggapnya tak pernah terjadi. Tapi tetap saja. Kau tahu bagaimana rasanya saat seseorang yang sejak bayi bersamamu, tiba-tiba jauh lebih percaya pada seseorang yang belum lama dikenalnya? Sakit, Harry. Rasanya menyakitkan." Taylor memasang wajah dramatis seraya memukul dadanya.

Harry hanya mengangguk-angguk polos dan memilih menjadi pendengar setia seorang Taylor Swift yang sekarang tak memiliki keraguan untuk menceritakan segalanya kepada Harry.

"Pertama, aku yang baru saja ke luar kelas tiba-tiba dihampiri gadis yang kukenal saja tidak lalu, dia menamparku keras dan memintaku menjauhi pria yang memang sebenarnya sudah kujauhi sejak beberapa minggu belakangan. Aku tak mau membenci Zayn, tapi sungguh, aku masih tak habis pikir dengan pola pikirnya dan juga keluarganya."

Taylor menghela napas dan menyandarkan kepala pada sandaran tempatnya duduk.

"Kau tak sengaja mengirim pesan singkat kepada Zayn? Memberinya semangat untuk menghadapi UAS saat kau bahkan tak pernah meminta nomor ponselku untuk sekedar menjadi teman berkirim pesan." Harry mengerucutkan bibir, melakukan acting kesal atau marah.

Taylor memejamkan mata dan menepuk dahinya sendiri seraya menatap Harry dengan mata yang melotot. "Shit, aku refleks mengirim pesan untuk Zayn! Biasanya selalu seperti itu. Aku mengiriminya pesan dan dia mengirimiku pesan balik. Pantas saja seperti ada yang kurang saat aku mengerjakan soal UAS tadi."

Harry memutar bola matanya dan mengangguk-angguk kecil sebelum mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Pemuda itu mulai menyalakan mesin mobil dan membuat Taylor tersentak.

"Oh, kau ingin pulang? Maaf-maaf. Aku akan ke luar dan juga pulang. Sampai bertemu besok."

Taylor buru-buru meraih tas dan hendak ke luar dari mobil namun, tangan Harry langsung menahan lengan dress gadis itu dan menarik Taylor sehingga dia jatuh dalam posisi duduk di posisi semula.

"Aku akan mengantarkanmu pulang. Setidaknya sampai kau selesai menemaniku makan siang."

Kemudian, Harry menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menjauhi area kampus mengabaikan seruan gadis itu.

"Siapa yang ingin menemanimu makan siang?!"

*****

"Kenapa hanya dilihat? Jika kau ingin makan yang lain, aku bisa memesankan."

MoonlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang