Kuliah terasa jauh lebih baik dan tak sesuai dengan pikiran buruk Taylor sebelumnya. Mungkin, itu tak terlepas dari peranan seorang Harry Styles yang memang aneh, tiba-tiba bersikap baik dan bersahabat dengannya. Meski masih saja menyebalkan.
Tapi harus Taylor akui. Tanpa Harry dan ucapan menyakitkan tanpa diayaknya itu, Taylor pasti sudah memilih untuk membolos sejak kelas pertama dan mengurung diri di rumah, bahkan merencanakan untuk bunuh diri.
Sepulang kuliah, Taylor langsung pergi rumah tahanan tempat Ayahnya di tahan. Sejak Ayahnya ditahan, hampir dua bulan lalu, Taylor belum sekalipun menjenguk sang Ayah.
Taylor pergi seorang diri dengan taksi. Taylor masih memiliki tabungan yang mungkin masih bisa membiayai makannya sampai satu bulan ke depan. Taylor juga harus menahan diri untuk yang membeli barang-barang yang diinginkannya.
"Dad."
Taylor memanggil sang Ayah yang baru saja muncul dan dipersilahlan untuk duduk berhadapan dengan sang putri, meski terhalang kaca di hadapan mereka. Hanya ada lubang kecil di kaca dan Scott mengeluarkan tangannya di lubang tersebut, untuk menyentuh pipi sang putri yang sudah cukup lama tak dilihatnya.
"Bagaimana kabarmu?" Scott menarik tangannya kembali dan tersenyum kepada sang putri.
Taylor tersenyum tipis. "Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja."
Scott menghela nafas dan menundukkan kepala. "Maaf sudah membuatmu terlibat seperti ini. Aku sudah membuat keluarga kita hancur dan kita harus kehilangan Ibumu."
Gadis itu menggelengkan kepala, menggigit bibir bawah. Dia setengah mati mencoba menahan air mata yang bisa saja dengan mudah jatuh di pipinya. Matanya sudah cukup berair saat ini.
"Dad, aku percaya padamu. Pasti ada salah paham. Pasti ada kesalahan. Bukan kau yang harus berada di tempat ini."
Scott tersenyum tipis dan mengangguk. "Maafkan aku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Setiap malam, aku hanya berharap agar kau bisa hidup dengan baik meski, aku harus mendekam di sini selamanya."
Taylor menggeleng dan tak bisa menahan air matanya lagi. "Kau akan segera ke luar dari sini. Apapun yang terjadi, kebaikan pasti akan menang. Bukankah itu yang kau ajarkan padaku?"
Pertemuan anak dan Ayah yang sangat sebentar itu setidaknya membuat keduanya senang bukan main.
*****
Taylor menguap berulang kali selama dosen menerangkan mata kuliah yang diajarkannya. Kelas pertama sampai kelas kedua Taylor lalui dengan kantuk yang sangat. Bagaimana tidak? Gadis itu tidak dapat tidur semalaman karena apartment sederhananya yang kelewat sederhana.
Tak ada pemanas ruangan dan Taylor menghabiskan sepanjang malam untuk menghangatkan tubuh dengan cara duduk di dekat kompor listrik tempatnya biasa memasak. Menggosok-gosokan tangan tak jauh dari permukaan kompor listrik tersebut setelah memakai hampir tiga lapis pakaian.
Sekarang, tubuhnya melemas ditambah dengan kantuk yang luar biasa. Pagi ini, dia juga tak sempat memasak apapun untuk sarapan saking terburu-burunya.
"Class dismissed."
Ucapan Mr. Robert membuat para mahasiswa-mahasiswi mulai berhamburan meninggalkan kelas. Sementara Taylor sibuk menatap kepergian mereka dengan mata sayu dan gadis itu bahkan tak sadar saat seseorang datang, menyentuh dahinya dengan punggung tangan kanannya.
Mereka bahkan pergi begitu saja, seakan tak menganggap aku ada. Kalau begitu, sepertinya aku tak perlu minum obat dan makan. Biar jalanku menemui Mom lebih cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight
FanfictionHarry Styles menyukai Taylor Swift, jauh sebelum akhirnya mendapat kesempatan untuk berada di dekat gadis itu. Tapi tak lama setelah kesempatan itu datang, Harry diberi dua pilihan sulit dan dia selalu berharap pilihannya benar.