04 : Her Laugh

355 69 6
                                    

Kelas pertama dapat Taylor lalui dengan baik, meski dia masih mencoba mengimbangi pelajaran yang dia dapat dengan hafalan terakhirnya. Untungnya, mewarisi kecerdasan sang Ayah, Taylor dapat mengimbangi dengan mudah sehingga tak terlalu pasif saat kelas berlangsung.

Gadis itu menunggu di dalam kelas sampai mahasiswa-mahasiswi lainnya berjalan ke luar, hingga hanya meninggalkan Taylor di dalam, bersama Harry.

Taylor menoleh ke belakang dan mendapati Harry yang memasukkan buku catatannya ke dalam tas.

"Hei, kelas keduamu apa?"

Harry menatap gadis itu sambil mengangkat satu alisnya. "Kau bertanya kepadaku?"

Taylor memutar bola mata. "Siapa lagi yang ada di kelas ini selain kau dan aku?"

Pemuda itu menyeringai. "Kenapa? Kau ingin satu kelas denganku lagi karena aku cukup pintar?"

"Kau terlalu percaya diri, Styles." Taylor kembali ke posisinya dan mulai memasukkan bukunya ke dalam tas selempangnya.

Harry bangkit berdiri terlebih dahulu sebelum Taylor selesai merapihkan barang-barangnya. Pemuda itu sempat berhenti di dekat meja Taylor sambil berkata, "Ekonomi makro."

Taylor mendongak menatap pemuda berambut kecokelatan tersebut yang kembali menyeringai kepadanya. Harry meletakkan tangan lebarnya di puncak kepala Taylor dan mengacak-acak rambut pirang itu, membuat Taylor mendengus kesal.

"Sampai bertemu lagi di kelas Bahasa Inggris nanti, ceking."

Lalu, pemuda itu melangkah meninggalkan Taylor seorang diri di kelas dengan mata mengiringi kepergian pemuda itu sampai benar-benar lenyap dari pandangan.

"Ceking? Yang benar saja!"

Taylor menggeleng-gelengkan kepala sambil nyengir tanpa alasan sebelum bangkit berdiri menuju ke kelas selanjutnya. Kelas selanjutnya yang dia hadiri adalah: Akuntansi Perbankan.

Mengikuti jejak sang Ayah, Taylor memang mengambil jurusan Akuntansi, ditambah lagi penurunan bakat menghitung dari sang Ayah. Sebenarnya, Akuntansi bukan hal yang sulit untuknya.

Gadis itu hendak melangkah menuju kelasnya saat matanya menangkap seseorang yang sangat dikenalinya. Perlahan namun pasti, bibir Taylor melengkungkan senyuman.

Zayn.

Taylor baru hendak memanggil dan Zayn sudah menoleh menatapnya. Tapi tatapannya sangat berbeda dengan tatapan yang diberikannya kepada Taylor saat pertemuan terakhir mereka, di rumah sakit.

Zayn memicingkan mata lalu, mengalihkan tatapannya kepada gadis berambut pirang yang berdiri berhadapan dengannya. Zayn tampak mengobrol akrab dengan gadis itu, seakan melupakan Taylor yang tadi sempat di tatapnya.

Senyuman Taylor memudar. Gadis itu menundukkan kepala dan lanjut melangkah. Dia menyadari satu hal lagi yang harus diterimanya dengan penuh kesabaran. Dia kembali kehilangan.

Kehilangan sosok sahabat yang dulu selalu berada di sisinya.

Sekarang, dia benar-benar tak ada bedanya dengan mereka yang pergi menjauh setelah dulu sempat memuja.

*****

Taylor melewati kelas keduanya tak sebaik yang kelas pertamanya. Pikirannya tak bisa fokus pada pelajaran, ketika tatapan dingin Zayn tadi masih terekam jelas dalam benaknya.

Harry mengernyit ketika melihat Taylor yang berjalan melewati pintu ruang kelas kedua Harry yang terbuka. Harry buru-buru memasukkan buku catatan dan hendak menyusul gadis itu namun, langkahnya terhenti saat dua orang gadis yang satu kelas dengannya datang dengan senyuman lebar.

MoonlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang