Harry Styles masih duduk di ruang tunggu, matanya menatap hampa ke lantai tempatnya berpijak. Beberapa jam yang lalu, dokter yang memeriksa kondisi Mark ke luar dari ruangan sambil memberitahu satu hal yang membuat Harry sedikit pilu. Dokter mengatakan jika luka bakar di wajah Mark cukup parah dan tak banyak yang dapat mereka lakukan.
Yang membuat Harry tambah pilu adalah saat Mark yang wajahnya ditutupi oleh perban menepuk pundak Harry sambil berkata, "Aku baik-baik saja. Tak usah cemas. Lagipula, bagaimanapun tampangku kelak, aku punya Aurel yang akan tetap setia padaku. Sebaiknya kau cari gadis yang seperti Aurel."
By the way, Aurel adalah wanita yang sudah berstatus sebagai tunangan Mark selama 5 tahun belakangan. Mereka belum menikah karena Mark kesulitan mendapat waktu di tengah-tengah pekerjaan penting yang dijalaninya. Tapi Mark berjanji akan menikahi Aurel dalam waktu dekat. Bahkan, Harry yang mengantar Mark untuk mencari cincin pernikahan mereka kelak.
Saat tengah melamun, tiba-tiba ponsel Harry bergetar. Pemuda itu meraih ponsel di saku celananya dengan malas-malasan. Saat ini, jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat lima malam. Harry sudah hampir dua belas jam berada di rumah sakit. Tak ada niat sedikitpun untuk kembali ke rumah dan beristirahat. Mood-nya benar-benar hancur. Jangan lupakan juga dengan rasa penasarannya dengan Louis. Sungguh, Harry masih tak habis pikir jika selama ini Louis terlibat dengan Black Snake. Begitupun dengan Taylor.
Mata Harry sedikit memicing mendapati nomor asing yang berada di layar ponselnya. Harry diam sejenak, menimbang apakah dia harus mengangkat panggilan itu atau tidak. Namun akhirnya, Harry menyerah dan memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut. Panggilan dari orang asing di jam malam seperti ini.
"Harry Styles."
Harry mengernyitkan dahi mendengar suara tersebut. Suara yang sangat asing di telinganya. Belum sempat Harry menjawab, orang itu sudah kembali berkata dan sukses membuat Harry melototkan matanya.
"Ini aku, Zayn Malik. Masih ingat? Well, tidak penting apa kau masih mengingatku atau tidak. Yang jelas, aku ingin memberitahukan jika Taylor ada bersamaku. Dia aman bersamaku."
"A―Apa?! Damn! Di mana kau sekarang?! Aku akan menyusul ke sana!"
Harry bangkit dari tempatnya duduk. Rumah sakit sudah terlihat sangat sepi sekarang. Hanya ada beberapa orang dan perawat yang lalu lalang.
"Dia baik-baik saja, tenanglah. Aku tak akan berbuat macam-macam dengannya. Aku tak sengaja menemukannya di trotoar, berjongkok dan menangis. Aku bertanya dan dia tak menjawab apapun. Dia terlihat...buruk. Aku langsung membawanya ke rumahku."
Harry memejamkan mata. "Rumahmu masih yang lama, kan? Aku akan ke sana sekarang!"
"Harry, tidak. Aku tahu apa yang terjadi. Bagaimana jika kita bertemu di Starbucks tak jauh dari kantor Taylor? Banyak yang ingin kubicarakan."
Harry menundukkan kepala. "Sampai bertemu."
Kemudian, panggilan terputus. Harry buru-buru memasukkan ponsel ke dalam saku celananya dan melangkah menjauhi area rumah sakit.
*****
"Aku juga tak pernah punya pilihan lain selain menjauh. Kau tahu, sekali terlibat dengan Black Snake, tak ada pilihan untuk ke luar atau mati."
Harry menatap Zayn tanpa berminat mengalihkan pandangannya sedikitpun ke objek yang lain. Tak terasa, sudah hampir empat tahun sejak Harry terakhir melihat pemuda itu. Pemuda yang pernah sangat dibencinya karena terus membuat Taylor sakit hati. Tapi Harry sedikit merasa bersalah setelah akhirnya, Zayn menjelaskan permasalahan utama yang membuatnya harus menjauh dari Taylor.
Semua masih tentang Black Snake. Faktanya, Scott Swift pernah terlibat dengan organisasi sialan itu sehingga, membuat Yaser Malik perlahan mencoba untuk menjauh dari keluarga Swift. Bukan, bukan karena Yaser membenci keluarga Swift, tapi karena dia tahu apa saja yang akan terjadi pada semua orang yang terlibat dengan Black Snake.
Benar saja. Scott Swift dijebak oleh Black Snake ketika hendak melaporkan mereka dan harus mendekam di penjara atas semua yang dibongkarkan salah satu anggota Black Snake tentang harta miliknya. Tak sampai di situ, yang membuat Harry tambah miris adalah saat Zayn berkata jika kematian Andrea juga bukan tanpa sebab. Black Snake berada di balik semua kemalangan yang terjadi pada keluarga Swift. Lalu, jangan lupakan tentang selebaran yang beredar di kampus. Itu juga ulah mereka.
"Beberapa hari sebelum penyergapan, Scott datang ke rumahku dan menceritakan semua pada ayahku. Setelah penyergapan, ada beberapa anggota Black Snake yang datang ke kantor ayahku dan mengancam agar ayahku tak menceritakan segalanya. Keluargaku terus diawasi dan aku tak dapat berbuat banyak. Aku tak tahu apakah mereka masih mengawasi atau tidak. Jika iya, mungkin ini akan menjadi kali terakhirmu bertemu denganku."
Zayn terkekeh dan menyesap green tea latte pesanannya. Harry mengalihkan pandangan ke luar kaca Starbucks. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua dini hari dan tak ada sedikitpun rasa kantuk di mata pemuda berambut kecokelatan itu. Pikirannya tak bisa diajak untuk berhenti. Masih tak bisa tenang.
"Bagaimana keadaan Taylor?"
Zayn tersenyum simpul mendengar pertanyaan yang baru saja ke luar dari mulut Harry. Harry yang sekarang berada di hadapannya cukup berbeda dengan Harry yang dulu adalah mahasiswa satu angkatan dengannya.
Harry yang sekarang terlihat lebih dewasa dan lebih serius. Berbanding terbalik dengan Harry yang dulu, yang sangat senang mengganggunya dan tak pernah bisa berhenti membuat ulah dengannya. Zayn bahkan masih mengingat dengan jelas saat Harry menyembunyikan tugas Ekonomi Makro Zayn dan membuat pemuda itu kalang kabut. Dulu, Zayn memang tak berteman dengan Harry, tapi mereka cukup dekat dalam persoalan lain. Adu mulut misalnya.
Satu hal yang tak berubah dari Harry: perasaannya pada Taylor.
Sejak awal sekali, Zayn tahu jika Harry menyukai Taylor. Sejak masa orientasi, Harry mendekatinya dan terus menanyakan tentang Taylor. Tapi karena saat itu Zayn tak menyukai pria ribut seperti Harry, Zayn terus menjawab jika Taylor adalah pacarnya. Harry menjauh darinya sejak saat itu sampai Taylor mengaku sendiri jika dia lajang kepada Mr. George yang sebenarnya juga menyukai Taylor. Mr. George adalah dosen muda yang sampai sekarang belum juga mempunyai pasangan hidup.
Jangan lupakan juga dengan fakta jika Harry selalu ada di saat Taylor membutuhkan sesuatu. Pernah saat gadis itu bocor dan kebingungan mencari pembalut. Taylor kemudian menghubungi Zayn yang berada di kelas yang lain untuk datang membawa pembalut. Zayn kebingungan mencari pembalut di mana dan tiba-tiba Harry menabrak Zayn yang kebingungan sambil menjatuhkan sebuah kantung plastik. Zayn memanggil Harry dan menanyakan soal plastik itu dan saat Zayn membukanya, isi plastik itu adalah pembalut. Saat itu, Harry memang berada di kelas yang sama dengan Taylor. Tapi Harry tak pernah punya keberanian untuk berbicara jujur dengan Taylor.
Sampai detik ini, dari bagaimana cara pemuda itu menanyakan keadaan Taylor hingga gerak-geriknya ketika Zayn menyebut nama Taylor, Zayn dapat menyimpulkan jika rasa yang dimiliki pemuda itu kepada Taylor masih sama.
"Aku akan menjaganya dan memberitahukan setiap update tentangnya. Kau juga harus tahu jika Ibuku tak berhenti menangis ketika aku membawa Taylor ke rumahku. Dia terus memeluk Taylor dan mengucapkan kata maaf."
Harry mengangguk singkat, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Aku menemukan Taylor di Jalan St. Petrus. Aku tak tahu jika firasatku benar atau tidak, kenapa kau tak menyelidiki jalan itu? Mungkin markas mereka sekarang berada di sana?"
Harry kembali mengangguk. "Aku akan menyelidiki secepatnya." Harry mengangkat wajah dan tersenyum simpul kepada Zayn, "Jaga Taylor untukku?"
"Pasti."
----
Akhirnya dapet pencerahan buat ngelanjut yang satu ini. Maap ngaco. Sebenernya males lanjutin wkwk
Btw, yang minat baca Teenlit, bisa baca cerita aing yang judulnya: Rebut di akun ini wkwkwk promosi XD
Thank you for reading. All the love, as always.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight
FanfictionHarry Styles menyukai Taylor Swift, jauh sebelum akhirnya mendapat kesempatan untuk berada di dekat gadis itu. Tapi tak lama setelah kesempatan itu datang, Harry diberi dua pilihan sulit dan dia selalu berharap pilihannya benar.