Sudah seminggu berlalu sejak Andrea Swift dikebumikan di kampung halamannya, Nashville. Scott Swift mendengar berita itu dan tak dapat berbuat apapun selain menangisi kepergian sang istri di dalam tahanan, mengingat kasusnya belum juga selesai dan dia tak diberikan izin sekedar untuk menghadiri pemakaman sang istri.
Taylor Swift tak ingat kapan terakhir kali dia pergi ke kampus dan sekarang, adik dari Ibunya, Andy Finlay, mengatakan jika dia akan bertanggungjawab penuh atas keponakannya tersebut. Andy terbang bersama Taylor kembali ke Los Angeles, membantu bicara kepada pihak tata usaha kampus. Untungnya, saat mendaftar dulu, Scott langsung melunasi biaya pendidikan Taylor hingga dia lulus.
Kemudian, Andy langsung menemani Taylor mencari tempat tinggal baru, setidaknya sampai dia mendapat kepastian akan tempat tinggal lamanya nanti. Setelah mencari hampir seharian akhirnya, mereka menyewa sebuah apartment sederhana yang tak begitu jauh dari kampus Taylor.
"Tak apa kau tinggal sementara di sini, kan, Taylor?" Andy bertanya, membantu membawa koper Taylor ke dalam kamar apartment yang sudah disewa untuk tiga bulan ke depan.
Taylor tersenyum tipis dan mengangguk. "Ini sudah lebih dari cukup, Paman. Setidaknya tak jauh dari kampus sehingga, bisa sedikit menghemat ongkos."
Andy tersenyum dan mengacak-acak rambut keponakannya tersebut. Andy adalah adik dari Andrea Swift. Beda usia mereka hanya lima tahun. Andy sudah berkeluarga sekarang, dengan seorang anak bernama Antonius Finlay, lebih muda dua tahun dari usia Taylor.
"Hati-hati, Taylor. Kau tinggal sendiri di sini dan aku tak bisa mengawasimu secara langsung. Hubungi aku saat kau membutuhkan sesuatu, mengerti?"
Taylor mengangguk. Andy menjauhkan tangannya dari puncak kepala Taylor dan menatap gadis itu dengan senyuman tipis. Taylor sangat mirip dengan kakaknya saat muda dulu. Apalagi mata mereka. Setiap bertatapan dengan Taylor, kenangan akan masa kanak-kanak dengan Andrea muncul dalam pikiran Andy. Andrea Finlay. Kakaknya yang menyebalkan, tapi tetap selalu dia banggakan.
"Ayo, tata ruangan ini sehingga layak kau gunakan sampai tiga bulan ke depan."
Taylor mengangguk setuju sebelum mulai mengikuti pergerakan sang paman yang mulai menata ruangan apartment satu kamar dan satu kamar mandi berukuran 3 x 4 meter.
*****
Hari ini adalah hari pertama Taylor kembali ke kampus setelah lebih dari sebulan dia tak menginjakkan kaki di kampus. Taylor juga sudah tak peduli, dia pasti sangat ketinggalan pelajaran. Ditambah lagi, dia harus menghadapi tatapan mantan teman-teman yang dulu memujanya.
Tak butuh waktu lama, Taylor sudah tiba di kampus. Tepat pukul tujuh lewat lima pagi, lebih awal lima puluh lima menit dari jam masuk seharusnya. Tapi Taylor tak peduli. Dia memang selalu datang pagi dan datang pagi bisa membuatnya menghindari tatapan sinis orang-orang yang kini membencinya.
"Selamat pagi, Nona Swift. Aku baru melihatmu lagi. Sepertinya sudah lama kita tak bertemu."
Taylor tersenyum kepada petugas keamanan yang menyapa di pintu gerbang. "Selamat pagi, Pak."
"Tak diantar lagi?" Tanya si petugas keamanan dan Taylor terkekeh.
"Belajar mandiri, Pak."
Jawaban Taylor membuat si petugas tertawa dan membukakan pintu gerbang untuk Taylor.
"Terima kasih."
Setelah itu, Taylor bergegas cepat menuju ke ruang tata usaha untuk mengambil jadwal. Tadinya, Taylor berpikir jika dia akan menjadi mahasiswi pertama yang mengambil jadwal, tapi dia salah saat mendapati pemuda menyebalkan yang dulu pernah membentaknya karena tak sengaja menabrak sudah berdiri di depan meja petugas piket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight
FanfictionHarry Styles menyukai Taylor Swift, jauh sebelum akhirnya mendapat kesempatan untuk berada di dekat gadis itu. Tapi tak lama setelah kesempatan itu datang, Harry diberi dua pilihan sulit dan dia selalu berharap pilihannya benar.