21 : Surprise

263 56 9
                                    

"Ed, di mana kau?"

Harry Styles memejamkan mata mendengar samar-samar suara rekannya, Liam Payne yang terdengar di earphone yang dia kenakan. Harry menyandarkan punggungnya pada dinding, keringat sudah mengalir deras di sekujur tubuhnya. Pemuda itu menatap sekeliling sebelum mendapati rekannya yang lain muncul dan mengisyaratkan agar dia mendekat.

Pemuda Styles itu mengangguk dan mengeratkan genggamannya pada HS 2000 yang ada di tangannya. Dengan langkah penuh waspada, Harry melangkah mendekati temannya. Sesekali melirik kanan dan kiri, memastikan jika dia tak terlihat oleh musuh. Tak butuh waktu lama, Harry berhasil mencapai rekannya tersebut.

"Kita harus pergi."

Harry mengernyit mendengar pernyataan dari rekannya, Mark. "Apa katamu? Pergi? Tapi kita bahkan belum secara mendetail menyelidiki gedung ini." Harry berkata setengah berbisik. Tentu saja, dia harus berbicara pelan saat menjalani misi seperti sekarang.

"Tak ada orang di sini. Kita sudah mencari secara detail. Aku tak mengerti, tapi mereka sepertinya tahu kita akan datang lagi."

Penjelasan Mark membuat Harry menghela napas dan memasukkan HS 2000-nya secara asal ke dalam celana. "Damn! Aku sudah sangat bersemangat hari ini karena kalian melibatkanku dalam proses pengepungan, tapi nyatanya kita tak mengepung siapapun. Great, memang sepertinya aku tak ditakdirkan untuk terjun langsung dalam sebuah misi."

Mark terkekeh dan menepuk bahu Harry. "Payne sudah memastikan tak ada siapapun di sini. Aku sudah meminta Ron memeriksa tempat-tempat lain dan dia akan melapor secepatnya. Aku akan melibatkanmu, aku serius."

"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?"

"Pulang dan beristirahat. Siapkan tenagamu untuk hari esok, siapa tahu aku akan menghubungimu tiba-tiba seperti hari ini? Yang jelas, kau harus bersiap."

Harry mengangguk pasrah. "Fine."

*****

Sampai bertemu malam nanti.

Taylor memejamkan mata setelah membaca pesan itu, lagi. Kemarin, semalaman penuh Taylor berkirim pesan dengan Harry—Harry mendesak agar Taylor mau melakukan panggilan dengannya, tapi Taylor menolak—dan malam ini, Harry mengajak Taylor bertemu di sebuah restoran yang Taylor kenali. Pukul 7 yang berarti, setengah jam dari sekarang dan Taylor masih terjebak di kantor.

Sejak setelah menonton konser Coldplay hanya berdua, Sean bersikap aneh kepada Taylor. Sean sangat dingin dan tak pernah lagi menggoda Taylor, seperti yang biasa dia lakukan. Biasanya, dia juga seringkali menghampiri Taylor atau memaksa Taylor untuk mengobrol banyak di ruangannya. Tapi sekarang tak lagi. Ditambah, dia memberi tugas tanpa ampun kepada Taylor. Tak ada toleransi seperti dulu.

Sean meminta Taylor mempersiapkan persentasi untuk rapat besok dan Taylor baru mendapat bahan tepat pukul 4 sore tadi. Mengolah bahan menjadi bentuk persentasi bukanlah sesuatu yang dapat dikerjakan dengan singkat. Butuh waktu yang cukup dan juga konsentrasi.

Bagaimana bisa Taylor berkonsentrasi mengerjakan tugas ini saat Harry benar-benar menghantui pikirannya?

Ponsel Taylor bergetar dan gadis itu segera meraihnya. Taylor mendapati nama Mr. O'Pry pada layar ponselnya. Buru-buru, dia mengangkat panggilan. Sean dan juga rekan kantor Taylor di ruangan sudah kembali ke rumah untuk beristirahat. Jadi, tinggallah Taylor. Hanya seorang diri.

"Taylor."

"Ya, Sir?" Taylor menjawab cepat berusaha untuk tidak terdengar kesal meskipun, rasanya benar-benar ingin berteriak tepat di telinga atasannya yang satu ini.

"Sudah sampai mana persentasinya? Ada beberapa bahan yang ingin kutambahkan. Aku akan mengirim via email, okay?"

Taylor menghela napas, menahan amarah. "Tentu saja. Email saja. Kau tahu email-ku."

"Kau tahu aku akan senang hati jika mungkin kau membutuhkan bantuan atau jika ada yang ingin kau tanyakan, tanyakan saja. Mengerti?"

Taylor memejamkan mata dan tangannya mengepal. "Aku bisa mengerjakannya sendiri, Sir. Terima kasih atas penawaranmu."

"Kau gadis yang keras kepala, bukan? Apa kau tahu aku sedang memberimu hukuman karena tindakan cerobohmu sepulang dari konser kemarin? Tidakkah kau mengerti dan meminta maaf kepadaku?"

Mata Taylor membulat mendengar ucapan pemuda itu dan amarahnya sudah benar-benar sampai puncak, tapi Taylor berusaha bersikap tenang kepada atasannya tersebut. Gadis itu memejamkan mata.

"Aku akan lanjut mengerjakan tugas darimu, Sir. Selamat malam."

Sebelum sempat Sean lanjut berkata, Taylor mengakhiri panggilan dan langsung mematikan ponselnya. Gadis itu memejamkan mata dan menjambak rambutnya sendiri dengan kesal.

"Aaarrghh!!"

Taylor berteriak kesal sebelum mengatur pernapasan dan berusaha fokus melanjutkan pekerjaannya lagi. Tapi tetap saja. Sean benar-benar membuatnya hilang kesabaran. Jika terus seperti ini, lama-lama Taylor akan mengajukan surat pengunduran diri dari perusahaan yang memang sudah selama dua tahun belakangan menjadi sumber penghasilannya.

Tapi mencari pekerjaan tidaklah mudah di jaman seperti sekarang. Taylor bahkan tahu jika beberapa teman kuliahnya dulu, sampai sekarang ada yang belum mendapat pekerjaan. Jadi, seharusnya Taylor masih merasa bersyukur karena diberi pekerjaan yang cukup baik.

Setelah berhasil mengatur emosinya, Taylor mengerjakan kembali tugasnya. Walaupun konsentrasinya masih saja tak bisa dikendalikan.

Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan Taylor masih berkutat dengan persentasi sialan itu. Sekarang, dia sudah berhasil mengatur fokusnya untuk mengerjakan tugas itu sampai sebuah suara langsung membuatnya terkejut dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Taylor mengernyit saat mendapati seorang petugas keamanan berada di depan pintu ruang divisinya sambil juga mengernyit heran.

"Miss. Swift? Kau masih di sini? Kupikir, tak ada orang lain. Pantas saja lampu masih menyala." Si petugas melangkah mendekat dan Taylor tersenyum tipis sebelum menatap kembali layar komputernya.

"Besok rapat. Aku harus menyelesaikan persentasi jadi, ya, tak ada pilihan lain selain lembur."

"Sudah makan malam? Mau kupesankan?" Tanya si petugas dengan ramah dan Taylor kembali mengalihkan pandangannya ke petugas tersebut.

"Bolehkah?"

Si petugas tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja. Kenapa tidak?"

Taylor tersenyum lebar. "Boleh pesankan aku green tea di Starbucks?" Taylor meraih dompet dan mengeluarkan selembar uang, menyerahkan kepada si petugas itu sambil lanjut berkata, "Jika kau mau, pesan saja, okay? Terima kasih sekali lagi."

"Baik. Tunggu sebentar, Miss. Swift."

Si petugas keamanan melangkah ke luar, kembali meninggalkan Taylor yang fokus lagi mengerjakan tugasnya yang hampir selesai. Ya, sudah hampir 80 persen.

Tak lama kemudian, pintu ruangan kembali terbuka dan tanpa mengalihkan pandangannya dari komputer pun Taylor sudah yakin seratus persen jika petugas keamanan tadilah yang datang membawa pesanannya.

"Terima kasih atas—," Taylor tak menahan ucapannya dan mengernyit terkejut saat sebuah tangan meletakkan satu cup green tea dan juga satu bento black pepper di atas meja kerjanya, "—tapi aku tak memesan black pepper, kan?"

Taylor mendongak dan membeku mendapati bukan petugas tadilah yang berada di hadapannya saat ini, tapi pria lain yang menatapnya tajam seperti hendak menerkam.

"Harry?"

MoonlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang