"Harry?"
Taylor mengerjapkan mata sebelum memejamkannya dan menggelengkan kepala. "Tidak, tidak. Mungkin hanya halusinasi. Harry mana mungkin ada di sini." Gadis itu bergumam pelan, kepada dirinya sendiri.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Damn. Taylor membuka mata dan tercengang saat mendengar suara itu. Bukan halusinasi. Suaranya terdengar sangat nyata dan sangat Harry. Tak ada yang berubah, sama sekali dan Taylor sangat mengenali ciri khas suara pemuda itu.
Memberanikan diri, Taylor mendongak dan menatap pria tampan yang berdiri di hadapannya. Harry memicingkan mata sebelum melangkah memasuki area tempat Taylor bekerja. Taylor mengikuti pergerakan pemuda itu sampai dia menarik kursi dan duduk di samping Taylor.
"Pukul berapa sekarang? Kenapa masih di sini? Bukankah kau sudah berjanji akan bertemu denganku pukul 7 tadi?" Harry mengangkat satu alis sementara, Taylor menahan napas.
Bertemu dengan Harry setelah hampir empat tahun lamanya tak bertemu, secara tiba-tiba dengan timing aneh seperti sekarang itu benar-benar tak pernah sedikitpun terlintas dalam pikiran Taylor. Bahkan, Taylor juga masih setengah tak percaya kemarin malam dia berkirim pesan dengan pemuda ini.
"Earth to Taylor. Hei! Kenapa kau melamun?"
Taylor terkesiap saat Harry melambaikan tangan di depan wajahnya. Gadis itu menahan napas lagi sebelum menggelengkan kepala. Lidahnya seakan kelu untuk mengucapkan sesuatu.
Harry memasang wajah datar dan terus memperhatikan wajah Taylor secara mendetail sebelum akhirnya tersenyum dan menahan tawa melihat pipi gadis itu yang sekarang merona. Taylor bahkan masih belum mengucapkan sepatah katapun kepada Harry.
"Habiskan makananmu dulu, okay? Kau pasti belum makan. Setelah itu, kau bisa melanjutkan pekerjaanmu dan mendengarkan ocehanku."
Taylor memejamkan mata dan menggeleng. Gadis itu membuka mata dan akhirnya, mendapat keberanian penuh untuk mulai buka suara.
"Apa yang—maksudku, bagaimana bisa kau berada di sini?"
"Makan dulu black pepper-mu. Setelah itu, baru kita mengobrol, okay? Apa pekerjaanmu juga sudah selesai?" Taylor mengangguk, menjawab pertanyaan Harry.
Harry tersenyum. "Bagus. Makanlah kalau begitu."
Seperti robot yang hanya melakukan sesuatu yang diperintahkan pemiliknya, tangan gadis itu bergerak membuka kotak bento black pepper yang Harry bawakan dan mulai memakan isinya. Harry memperhatikan gadis itu sambil bertopang dagu. Senyuman masih bertahan di bibir merah muda pria tampan tersebut.
"Kau terlihat jauh lebih baik dari terakhir kali aku melihatmu. Jadi, hidupmu pasti sudah jauh lebih baik, kan?"
Pertanyaan Harry membuat Taylor menghentikan makan dan baru hendak membuka mulut untuk menjawab saat Harry menahan tangan gadis itu sambil menggeleng dan berkata, "Ah, maaf. Anggap saja tadi kalimat retoris. Tak usah dijawab. Selesaikan saja makanmu, okay?"
Taylor memejamkan mata dan menghela napas sebelum meletakkan sumpitnya. Gadis itu menatap pemuda yang duduk di sampingnya dengan mata memicing. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Harry mengangkat satu alisnya. "Menemuimu?"
Taylor diam sejenak dan menggeleng. "Menemuiku? Dalam rangka apa? Kupikir, kau sudah melupakanku mengingat empat tahun bukanlah waktu yang singkat saat seseorang pergi dan tak memberimu kabar sama sekali."
Pemuda berwajah tampan itu menghela napas. "Aku sangat merindukanmu, tahu."
Taylor membuang wajah dan tersenyum sarkastik. "Kau pasti bercanda."
"Apa penjelasanku lewat pesan tak cukup untukmu? Ponselku hilang dan lagipula, aku hanya mendapatkan nomor ponselmu. Aku tak tahu harus menghubungimu lewat apalagi." Harry menjelaskan, panjang lebar. Kali ini wajahnya menampilkan raut yang cukup serius, tapi senyuman sinis Taylor benar-benar membuat Harry bingung.
Tiba-tiba, Taylor memutar kursinya menghadap kembali ke komputer kerja sambil berkata, "Aku sibuk. Terima kasih atas black pepper-nya. Kau bisa pergi sekarang."
"Apa kau tak tahu pukul berapa sekarang? Aku akan menunggumu selesai dan mengantarmu pulang." Harry bersikekeuh.
Taylor menggeleng dan juga bersikeras dengan keputusannya. "Aku bisa naik taksi atau kendaraan umum lain."
"Kita punya banyak hal yang harus dibicarakan."
"Tidak ada. Bukankah kau membaca pesanku kemarin?"
"Taylor, aku serius saat ini. Aku ingin bicara denganmu. Hanya berdua dan ini penting. Aku akan menunggu sampai kau selesai." Harry berkata penuh ketegasan.
Taylor memejamkan mata sekilas sebelum melanjutkan pekerjaannya yang sebenarnya sudah selesai. Dia hanya mencetak hasil pekerjaannya menjadi beberapa rangkap dan meletakkan di meja kerja Sean sehingga besok pagi dia tak harus bertatap muka dengan atasan sialan-nya itu.
"Aku mendatangi apartment-mu dua tahun lalu, tapi mereka bilang kau sedang pergi ke luar kota. Louis dan Eleanor menghilang dari radarku. Aku mencoba menghubungi mereka dan ingin bertanya tentangmu, tapi aku tak kunjung mendapat balasan." Harry menghela napas dan melanjutkan, "Aku kembali ke apartment-mu beberapa hari lalu setibanya aku di Los Angeles, tapi petugas keamanan bilang kau tak tinggal di sini lagi. Kau bekerja tak jauh dari Staples Center."
Suasana hening seketika. Taylor berusaha mengabaikan keberadaan Harry meskipun, sulit untuk tak mendengar ucapan pemuda tersebut.
"Butuh waktu seharian penuh mengumpulkan keberanian hanya untuk menghubungimu. Liam yang memberikan nomor ponselmu kepadaku. Jika tahu kau berada di konser Coldplay malam itu, aku pasti akan mencarimu."
Harry menundukkan kepala. "Aku tak tahu apakah penjelasan ini penting atau tidak untukmu. Yang jelas, aku datang menemuimu saat ini karena aku benar-benar merindukanmu. Sangat merindukanmu."
Harry memejamkan mata dan sudah sangat pasrah dengan sikap Taylor kepadanya saat tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang menarik tubuhnya mendekat, sebuah lengan melingkar di lehernya.
"Aku jauh lebih merindukanmu,"
Harry membuka mata dan senyuman muncul di bibirnya sebelum balas memeluk gadis yang terlebih dahulu memeluknya ini. Harry mencium wangi tubuh Taylor yang masih sama seperti terakhir kali dan tak banyak yang berubah. Hatinya masih tak karuan tiap gadis itu menyentuhnya.
"Maafkan aku," Harry berbisik pelan di dekat telinga Taylor dan Taylor mengangguk kecil.
"Maafkan aku juga. Aku hanya...masih merasa kesal karena kau tahu sendiri empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggumu kembali."
Harry mengelus punggung Taylor dengan senyuman tipis di bibirnya. "Aku sangat merindukanmu."
Taylor terkekeh. "You've said it like a million times."
Taylor hendak menarik diri dari Harry namun, Harry malah mempererat pelukannya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun dan Taylor juga memilih untuk bungkam. Yang terdengar hanyalah bunyi detak jantung mereka, saling bersahutan.
*****
Liam bangkit dari tidurnya begitu saja dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya, cukup deras. Pemuda itu menatap sekeliling sebelum menghela napas.
Tangannya meraih ponsel yang berada di atas meja dan kembali menghela napas mendapati jam yang berada di sana menunjukkan tepat pukul 10 malam.
Liam menggelengkan kepala dan memejamkan mata.
"Please, don't."
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight
FanfictionHarry Styles menyukai Taylor Swift, jauh sebelum akhirnya mendapat kesempatan untuk berada di dekat gadis itu. Tapi tak lama setelah kesempatan itu datang, Harry diberi dua pilihan sulit dan dia selalu berharap pilihannya benar.