1. Tamu Maut

7.3K 81 3
                                    

Hwe-sian-hong atau puncak pertemuan Dewa, merupakan puncak yang tertinggi dari gunung Tiang-pek-san.

Disebut puncak pertemuan Dewa, karena puncaknya menembus awan sehingga tak tampak, Begitu pula selalu diselimuti oleh salju putih, Empat penjuru dikelilingi jurang yang curam dan tebing yang terjal.

Di atas segunduk karang datar seluas beberapa tombak dari puncak Hwe-sian-hong yang dingin itu, sesosok tubuh tengah tegak bagaikan sebuah tonggak.

Dia seorang pemuda yang baru berumur sekitar 18 tahun. Bertubuh kekar dan berwajah cakap. Wajahnya putih segar, dimeriahkan oleh sepasang bibir yang merah dan disemarakkan oleh sepasang biji mata yang bersinar terang.

Dia mengenakan pakaian ringkas, pakaian yang biasa digunakan oleh kaum persilatan. Memakai kain kepala Bu-seng-kin atau ikat kepala kaum persilatan untuk menahan angin dan hawa dingin, diapun mengenakan sehelai mantel berwarna kuning telur.

Bahu, punggungnya menyanggul sebatang pedang pusaka yang aneh bentuknya. Tangkai pedang berikatkan sutera merah yang halus seperti rambut.

Pemuda itu memandang cakrawala, wajahnya tampak sarat dan membeku. Dia tak menghiraukan tebaran salju yang berhamburan mendera muka dan tubuhnya.

Sesaat kemudian terdengar mulutnya menghela napas, sarat dan panjang, Seolah sedang merenungkan sesuatu yang penting.

Memang aneh sekali, Mengapa seorang diri dia berdiri diatas karang yang sedang dilanda angin prahara dan hujan salju.

Tetapi dari kerut wajah dan helaan napasnya itu, jelas dia tentu sedang menghadapi suatu persoalan yang menggelisahkan hatinya.

Memandang cakrawala yang tengah menaburkan hujan salju itu, mulut pemuda itu tampak bergerak-gerak, Seperti seorang yang tengah berdoa atau bicara seorang diri.

Dan tempat seperti itu, dia tegak seorang diri diatas karang? Apakah yang sedang diucapkan dalam doanya? Mengapa ia menghela napas sedemikian sarat?

Sekonyong-konyong matanya memancar sinar berkilat tajam sekali. Tetapi pada lain saat, sinar tajam itupun lenyap. Dan kerut wajahnya pun menampilkan suatu keputusan yang kokoh. Rasanya dia telah menentukan suatu keputusan pada persoalan yang tengah dihadapinya.

Dia telah menemukan suatu penyelesaian....

Tiba2 dibawah tebaran salju putih yang lebat, terdengarlah dua buah suara orang berteriak nyaring: "Liong koko.... Liong koko..."

Teriakan itu bernada cemas dan gugup, pemuda itu terkejut lalu berputar tubuh dan berseru keras:

"Adik Lan, aku disini...!"

Sesosok bayangan putih, bagai seekor kupu2, segera beterbangan melintas hujan salju, meluncur kearah tempat pemuda itu.

Pemuda itu terkejut Cepat ia lari menyongsong : "Adik Lan, jangan kemari, disini angin keliwat besar, Berbahaya sekali !"

Tetapi bayangan putih itu tak mengurangi laju larinya dan beberapa saat kemudian dia sudah makin dekat

Ah, kiranya dia seorang dara cantik yang baru berumur 16-an tahun. sepasang alisnya yang melengkung seperti bulan sabit, menaungi sepasang gundu mata yang memancarkan sinar bening. Bibirnya yang berbentuk sepasang kelopak bunga mawar, makin menyemarakan wajahnya yang berbentuk bundar telur, Kulitnya yang putih mulus makin mulus dimahkotai rambut yang hitam legam.

Dara itu juga mengenakan pakaian ringkas warna putih dan mantel pendek penolak angin.

Melihat dara itu lari sedemikian gopoh dan wajah cemas, sambil pesatkan larinya, pemuda itu berseru:

Pedang Tanduk Naga - Sin LiongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang