Kenanglah aku pernah singgah di hatimu, meski sekedar mengukir hatimu.
*
*
*
Irene Zahra Faye.
Nama yang indah bagi seorang gadis berdarah Bandung satu ini. Kegemarannya di bidang kepenulisan tidak main-main. Hal tersebut mengantarkannya pada berbagai kejuaraan, bahkan berkatnya, sekolah memiliki nama di dunia literasi. Tak ada guru yang tak mengenalinya, namun hanya beberapa murid yang sering keluar masuk perpustakaan saja yang akan mengingat wajahnya. Golongan introvert seperti ini memang jarang memunculkan diri di tempat umum.
Bagi seorang Irene, saat berharga dalam hidup adalah ketika memiliki kesempatan untuk membaca, baik buku, novel, koran, majalah, bacaan sekolah, sampai media daring sekalipun, adalah harta dunia yang harus dimiliki siapapun. Namun untuk novel, bergenre romansa selalu menempati urutan teratas baginya.
"Ren, lo nggak mau ke - ?" begitu melihat Irene yang sibuk dengan bacaannya, Kayla merasa salah telah mengajak berbicara.
Meski terlihat khusyuk, Irene masih bisa mendengar ajakan itu, "Lo aja, gue mau nuntasin satu novel, mumpung jam kosong."
Kayla hanya menggumam. Lagipula, justru tak ada salahnya Irene menolak. Itu berarti uang di kantongnya masih aman, "Iya sih, lo kalau udah pegang novel mendadak lupa sekeliling."
Dan benar saja, dalam waktu tiga jam, Irene berhasil merampungkan satu novel non fiksi tebal yang baru dibeli kemarin. Benar-benar kemampuan membaca anak ini tidak diragukan.
Suara riuh dari lapangan menandakan bahwa jam istirahat telah tiba. Sebagian besar murid menghentikan aktivitas mereka dan langsung melarikan diri ke kantin. Memang, masa yang paling dinanti di sekolah ada waktu senggang dan jam istirahat. Menghabiskan hari berjam-jam untuk berdiam di kantin, apalagi mendapat tawaran cuma-cuma.
Tapi bagi seorang Irene, perpustakaan adalah tempat yang paling pas untuk mengisi waktu istirahat seperti ini. Perpustakaan sudah menjadi markas baginya.
Sesampainya Irene langsung disambut oleh salah satu petugas. Jenne, begitu namanya, langsung membukakan daftar hadir untuk siswa kelas 12 pada Irene.
"Eh, Bu Mirna mana?"
"Belum datang, Kak. Katanya sih, rapat guru, masih satu jam lagi. Jadi, dari tadi kita kewalahan ngurus administrasi."
Irene tersenyum melihat perpustakaan yang ia bina sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah itu berkembang cukup pesat. Ia sendiri telah menjadi anggota kepengurusan sejak tingkat pertama. Dan di tingkat akhir ini, ia pun naik pangkat menjadi penanggung jawab perpustakaan.
Bu Mirna, pengawas perpustakaan sekolah memberikan kedudukan ini bukan tanpa alasan. Beberapa pertimbangan tersebut salah satunya adalah ketertarikan Irene pada dunia sastra. Hal tersebut nampak dari kemahirannya dalam merangkai kata. Tak hanya itu, predikat juara yang selama ini ia raih membuktikan konsistensinya. Itu sebabnya, jabatan penanggung jawab layak disematkan padanya.
Tak berselang, kembali terdengar suara pintu dibuka. Kali ini, memunculkan seorang laki-laki berpostur tinggi dengan seragam yang dikeluarkan dari celana. Membuat siapapun yang inign tahu tertarik untuk melirik, tak terkecuali Irene. Apalagi, melihatnya yang mengenakan alas kaki saat masuk ke dalam, membuat salah satu pengurus tergugah untuk menegurnya.
"Kak, alas kaki tolong dilepas ya," tegur Jenne.
Laki-laki itu tetap santai berjalan. Irene masih diam memerhatikan.
Selangkah, dua langkah, laki-laki itu tetap tak mengindahkan teguran.
"Kak, alas kaki tolong dilepas ya!"
Dan pada teguran yang ketiga kalinya, laki-laki itu pun membalik badan. Bukannya langsung meminta maaf, ia justru memasang raut wajah tak sedap bergerak mendekati Jenne.
"Kenapa lo pakai acara ngelarang, hah?" laki-laki itu buka suara.
"Maaf kak, tapi peraturan di sini -"
"Lo cuman junior ingusan, nggak usah sok ngatur hidup gue!"
Tatapan menakutkan yang mematikan lawan bicara itu membuat Jenne tersentak. Ia bergerak mundur untuk menghindarinya, namun laki-laki itu terus memojokkannya.
"Kalau lo nggak suka, keluar dari sini!" semakin lama, Jenne tak tau harus bagaimana. Ia terisak, dan lama-lama air mata keluar. Puluhan siswa pun mendekat, mencoba mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.
Irene kali ini mulai merasa tak nyaman. Ia pun mendekat, kemudian menggebrak meja dengan kasar.
"Apaan nih ribut-ribut?" Irene mencoba bergabung dalam pembicaraan mereka berdua, dengan harap dapat melerai.
"Ngapain?"
Irene hanya diam. Menunggu reaksi selanjutnya.
"Oh, mau jadi pahlawan?"
Sesaat, sunggingan senyum terukir dari wajah yang Irene tau, itu isyarat meremehkannya.
Tak ingin kalah, Irene pun mengeluarkan kalimat andalannya. "Gue Irene, penanggung jawab perpustakaan sekolah ini, kalau lo belum tau."
"Masa bodoh."
"Pantas aja lo brutal gini, ternyata belum tau siapa gue."
"Apa maksud lo?" Mendengar reaksi tersebut, Irene hanya bisa menghela napas panjang. Mencoba untuk tetap tenang dan tak gegabah menghadapinya.
"Kenapa ngomong sama orang bisa kasar begitu? Nggak diajarin tata krama?"
Laki-laki itu naik pitam. Ia berhasil menyingkir dari pandangan Jenne dan beralih pada lontaran maut Irene.
"Sebagai seorang senior, gue harus memberi contoh yang baik kepada bawahan. Gue menjamin ketenangan bagi siapa pun yang ada di ruangan ini untuk bisa baca buku dengan tenang," tuturnya, sambil melirik laki-laki itu dari atas sampai bawah.
Tubuhnya mendekat perlahan ke raga laki-laki itu, memberi penegasan pada ucapannya. "Kalau ternyata kedatangan lo hanya untuk bikin onar, sepertinya, lo yang seharusnya keluar dari sini," tunjuknya tepat di depan wajahnya.
"Tempat ini nggak cocok untuk orang yang nggak tau sopan santun kayak lo."
Semua orang terkesiap. Siswa lain tak henti saling berbisik satu sama lain. Sedang Jenne juga terpancing untuk menghentikan perdebatan.
Kemarahan yang menjalar sampai ubun-ubun pun terlihat ketika laki-laki itu membuka pintu dengan keras dan melangkah keluar dari perpustakaan. Irene segera mengisyaratkan seluruh murid untuk kembali ke posisi semula dan menganggap bahwa tidak terjadi apa-apa.
"Dia udah pergi. Sekarang, kamu duduk dulu ya, biar hati kamu tenang." Irene pun menuntunnya menuju salah satu kursi. Masih dapat ia rasakan kekesalan memuncak yang masih terlintas dari wajah kesalnya.
"Mau lulus aja belagu, dasar cowok!"
****
Thanks ya udah baca. Ini dalam masa editing, jadi ada beberapa part yang bakal diperbaharui.
See you again!
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam
Teen Fiction"Saat kau merasa tersakiti oleh seseorang, menangislah, tak apa. Karena mungkin, itu salah satu caramu untuk menghadapi seseorang yang pernah menggores luka di hatimu. Setelah kau merasa lelah, menangislah, tak apa. Mungkin, itu salah satu cara jitu...