"Terus, sekarang, dia ada dimana?" Bersamaan dengan itu, Piya tanpa sengaja mendengar Irene yang menangis dari balik bilik. Langkahnya tertahan setelah dirasa percakapan tersebut cukup intens.
"Gue lupa nama daerahnya apa, yang jelas, lokasinya dekat sawah."
"Sawah?" Spontan, suara yang dimunculkan Piya membuat ketiga manusia itu menoleh.
"Memangnya, ada apa?"
Berusaha menyembunyikan sesuatu, Piya ikut masuk ke dalam kamar seakan sama-sama tak tahu menahu, "Ah, nggak kok, nggak ada apa-apa."
Irene yang tak mengerti bagaimana bisa sang kakak bereaksi seperti itu mulai bertanya-tanya, "Kakak tahu sesuatu tentang daerah itu?"
Mata Piya terbelalak. Sedangkan Julian yang sedari tadi memperhatikan sekeliling yang merasa ada seseorang selain mereka berempat mulai menyela.
"Lebih baik kita lanjutin sambil perjalanan aja gimana? Gue bawa mobil tadi ke sini."
Melihat reaksi ketiganya yang mengiyakan, Julian bernapas lega. Setidaknya, siapa pun orang itu, jangan sampai melibatkan orang-orang di sekelilingnya lagi.
****
"Sial, Julian tahu keberadaan gue."
Dengan gegabah, Arya buru-buru keluar dari dalam rumah Irene. Suara jatuhnya barang yang ia timbulkan sendiri bisa memberi tanda tersendiri bagi Julian. Bahwa yang bersembunyi pasti akan muncul juga.
Sebelum benar-benar meninggalkan rumah, Arya memasang kamera pengintai di pintu bagasi mobil Julian. Setelah memastikan Julian dan rombongan menumpangi kendaraan tersebut, barulah Arya beranjak jauh dari sana. Setidaknya, pergerakan mereka bisa ia awasi dari layar gadget.
Tak berselang lama, telepon masuk di ponsel Arya mengalihkan sementara pengintaiannya.
"Apaan?"
"Lo udah awasi, kan?"
Hatinya melongos. Kini, ia mulai muak. "Lo jangan pernah lakuin apapun lagi."
"Ada apa nih? Lo jatuh hati sama Irene?"
Persetan!
"Eh, Ristya, lo denger omongan gue, tugas gue cuma sampai di sini. Setelah ini, kita nggak terikat apapun. Selesai."
Tut Tut
Nada sambung itu segera diakhiri. Layar gadget langsung memunculkan gambar dari kamera pengintai yang dipasang.
Dan buruknya, mobil mereka mengarah ke lokasi yang tak seharusnya mereka kunjungi.
"Sial. Mereka dalam bahaya."
****
Suasana di dalam mobil bukan lagi runyam. Masalah ini semakin menyeret banyak pihak. Bukan hanya anggota Devils, Irene, maupun Kayla. Melainkan juga kisah masa lalu keluarga Tora.
"Kakak tahu, ini sulit untuk kamu terima. Tapi, kalau bukan sekarang, Kakak nggak akan bisa ngomongin ini di belakang Mama."
Irene semakin bingung. Terlebih, setiap reaksi yang dimunculkan dari tubuhnya akan berimbas pada rasa sakit di perutnya.
"Lebih baik Kak Piya langsung cerita aja semuanya."
Dengan sekali tarikan napas, Piya bersiap untuk membuka suara.
"Jauh sebelum kamu lahir, ayah ninggalin Kakak dan Mama. Posisi kami waktu ada di Bengkulu, tempat kelahiran Mama. Ayah yang waktu itu harus terbang ke Jakarta membuat kami harus merelakan. Namun, sudah dari dua tahun sebelumnya, antara ayah dan Mama telah bercerai. Dan, di alamat yang kalian hendak tuju sekarang, adalah alamat yang pernah Mama terima ketika Mama mencari keberadaan Ayah di Jakarta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam
Teen Fiction"Saat kau merasa tersakiti oleh seseorang, menangislah, tak apa. Karena mungkin, itu salah satu caramu untuk menghadapi seseorang yang pernah menggores luka di hatimu. Setelah kau merasa lelah, menangislah, tak apa. Mungkin, itu salah satu cara jitu...