BAB 4 : Akibat Pertemuan

953 56 1
                                    

Apa kurangnya aku di dalam hidupmu, hingga kau curangi aku?

^

    ^

^^



Memang benar apa kata Kayla, harusnya ia tak memberanikan diri untuk terlibat permasalahan dengan anggota Devils. Terlebih lagi dengan Tora.

Pikirannya mulai kalut. Kegelisahan tak dapat disembunyikan dari matanya. Perdebatan pagi tadi, hingga pertikaian di depan pagar lima menit yang lalu melengkapi hari Irene yang sungguh di luar dugaan. Semua rencana pagi ini batal total.

Beruntung saja tadi Pak Bibu langsung membuka pagar, sehingga kejadian itu tak terus berlanjut. 

Mungkin kalau dia masih ada di sana dengan laki-laki itu sampai selesai upacara, ia akan benar-benar jadi karak.

Irene bergegas masuk ke dalam meninggalkan Tora, yang mungkin tengah menyesali perbuatannya. Masa bodoh, laki-laki itu memang harus menyadari tindakannya kali ini. Bagaimana bisa dia bilang pentolan sekolah tetapi sifat dan karakternya jelas-jelas yang dibenci banyak orang.

Mau taruh dimana nama sekolah ini, ck.

Irene terus mengusap air matanya. Langkah yang tampak tergopoh cukup menunjukkan kondisinya yang sedang kacau.

Harus apa lagi agar bisa terlihat baik-baik saja nanti di depan banyak orang?

Dalam kecepatan berjalan yang ia yakin sudah seperti sprint, seseorang justru berhasil menghadangnya tiba-tiba.

"Irene?"

Sial! 

"Bu Azizah?"

"Kamu terlambat lagi hari ini?" pertanyaan itu kembali terulang, hingga membuat beban di pikiran Irene semakin bertambah.

Beliau menatap lamat-lamat diri Irene. Semakin dalam, semakin tidak biasa. 

"Mengapa dasi kamu basah? Kenapa kantung matamu terlihat besar?"

Irene refleks mengusap kedua matanya yang masih basah. Ia tak dapat lagi menyembunyikan hal ini kepada Bu Azizah.

"Ada apa dengan kamu?"

Irene berusaha untuk tetap tersenyum dalam tangis, "Em, saya baik-baik aja kok, Bu."

Sebagai seorang perempuan sekaligus ibu, beliau paham ada yang tak beres dengan kondisi Irene.

Berusaha untuk tak kembali diburui pertanyaan, Irene berhasil menyela.

"Maaf Bu, saya telat lagi hari ini. Tolong jangan panggil orang tua saya ke sekolah, Bu, saya lagi banyak masalah. Tolong, untuk sekali ini saja, Ibu bantu saya," dengan terbata-bata dan sesekali sesenggukan, Irene mencoba untuk berbicara meski terasa berat. Melihat raut wajah Irene yang terlihat tidak sedang berpura-pura itu membuat Bu Azizah sempat heran.

"Yasudah, sekarang kamu berkumpul dengan yang lain di lapangan. Akan ada pengumuman dari bapak kepala sekolah perihal lomba perpustakaan kelas. Saya tau, kehadiranmu pasti sangat ditunggu oleh Bu Mirna. Buruan!" 

Sambil menggiring Irene menuju lapangan upacara, Bu Azizah terus mengusap punggung Irene. Seakan mengerti bukan waktunya untuk memaki.

****

Kayla hanya bisa pasrah mendengar kejadian antara Irene dan Tora. Ia hanya bisa berdoa agar sahabatnya itu tidak akan mendapatkan masalah lagi terkait insiden yang cukup berat pagi tadi.

"Andai lo tau, sebelum upacara dimulai, satu angkatan udah pada tau kalau cewek di video itu adalah lo. Walaupun banyak yang minta klarifikasi ke gue, alhamdulillah gue masih bisa tutup mulut. Harusnya lo berterima kasih sama gue."

Duh, Kayla, masih sempat-sempatnya membahas ini.

Perbincangan singkat mereka seketika buyar oleh kedatangan sekelompok perempuan yang datang entah darimana. Ketiganya berkaki jenjang, tinggi, lebih semampai. Ya, perawakan model majalah sekolah.

"Lo yang namanya Irene Faye?" tanya salah seorang diantara mereka sambil menunjuk ke arah Irene, dengan tatapan sinis.

Kayla yang sadar akan niat perempuan itu mulai tak nyaman, "ngapain nunjuk-nunjuk temen gue? Mau apa lo?"

"Lo nggak ada sopan santunnya ya sama kita!" pekikan itu berhasil membuat keduanya bungkam.

"Tenang, gue nggak bakal ganggu dia kok. Gue cuman mau kasih aba-aba kalau lo musti jauhin Tora. Kalau lo sampai berani ngedeketin dia, lo akan tau sendiri akibatnya," tegas perempuan tersebut.

"Memangnya Anda siapa mengatur hidup saya?" lontaran kalimat Irene memang terdengar biasa, namun langsung bisa menusuk telinga yang mendengarnya. Bahkan Kayla sempat terperangah akan balasan kalimat itu.

Salah seorang dari ketiganya yang berambut disemir cokelat itu menunjukkan ketidaknyamanannya kepada Irene, namun berhasil dicegah oleh perempuan di sampingnya.

"Oh iya, kenalin nama gue Ristya, calon pendamping hidupnya Tora," tegasnya, dengan dagu yang terangkat sambil mengulurkan tangan kanannya.

Kedua bola mata mereka membulat. Irene dan Kayla langsung saling menatap. Seakan baru saja mendengar pengakuan hebat.

Gila, tiga perempuan ini gila hormat. Tidak ada bedanya pula dengan Tora, ups.

"Tapi, sejak kapan lo jadian sama dia, ya?"mendengar kalimat itu keluar dari mulut sahabatnya sendiri membuat Ristya langsung menyikut agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Menghindari kecanggungan itu, mereka langsung menyudahi kedatangan mereka. 

Aneh, datang tak diundang, tapi tiba-tiba main ancam.

"Ya, pokoknya lo harus jauh-jauh dari Tora. Kalau nggak, lo akan nyesel karena meremehkan ultimatum dari gue," dengan diiringi kedua temannya, mereka bertiga pergi dari hadapan Irene.

Pemandangan barusan bukan lagi pengalaman bersejarah bisa mendapat labrakan, namun pertama kalinya menemukan jenis makhluk seperti mereka.

"Itu bocah manusia apa preman sih, beraninya ngancem. Sok ngaku calonnya Tora lagi," bisik Kayla.

Irene kembali membelalak, "Emangnya dia beneran bukan pacarnya Tora?"

"Ya kali aja Tora mau sama spesies cewek kayak Ristya. Satu sekolah juga tau kalau Ristya naksir Tora sejak kita gugus. Dia selalu berusaha untuk merebut hatinya Tora, tapi sayang perjuangan itu nggak pernah terbalas."

Gue kira, lo bisa nerima semua perempuan. Ternyata, lo nggak semudah itu untuk bisa membuka hati.

"Ren?" Sekali senggolan berhasil menghuyungkan tubuh Irene yang semakin lemas. 

"Eh, Lo kenapa? Itu kepala sekolah manggil nama lo!" 

Saking hanyutnya dalam lamunan itu, Irene sampai tak sadar bila harus membuka peresmian lomba perpustakaan kelas. Mendengar namanya disebut berkali-kali, ia segera berlari ke arah podium. 

Sampainya di sana, ia menjelaskan tujuan diadakannya perlombaan perpustakaan kelas, hadiah-hadiah, dan mekanisme penilaian. Dari tempatnya, sesekali Kayla bersorak menyemangatinya.

Dan dari sudut yang berbeda, Tora yang baru saja keluar dari ruang BP karena insiden tadi juga menyaksikan pemandangan itu. Dan satu kata yang terbesit dalam hati Tora : terkesima.

Secepat itu lo melupakan hal yang hanya membuat lo terpuruk.

***

DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang