BAB 6 : Orang Kedua

946 47 1
                                    

Demi mencari kertas puisi yang hilang, Irene berkeliling kesana kemari. Mulai dari menyusuri kembali jalanan menuju kantin, mengeluarkan semua isi tas, sampai mengecek kolong setiap  bangku. Namun, hasilnya nihil. 

Inilah buah dari kecerobohannya yang selalu meremehkan hal-hal kecil.

Lagipula, ini bukan murni kesalahannya.

Karena terlalu lelah mencari, mereka pun memutuskan untuk berjalan menuju koperasi dan menenggak sebotol minuman dingin.

"Mana gue nulisnya ngasal lagi, jadinya gue nggak hapal satu bait pun."

"Duh, gue bener-bener nggak habis pikir sama itu dedemit," sambil menelan segala sumpah serapah, emosi Kayl terhadap three musketeer itu semakin membuncah.

"Heh, lo ngatain dia dedemit! Entar kita gibahin gini dia denger nggak ya?"

Saking terpingkal-pingkalnya, Kayla sampai tak sadar telah salah menabrak orang di depan pintu koperasi saat hendak membayar minuman.

"Aduh!" 

Melihat Kayla yang tak segera membayar tetapi malah bercengkrama dengan seseorang, Irene mulai bertanya-tanya. 

Dirasa tak pernah bertemu, Kayla pun merasa ragu untuk meminta maaf.

"Emm, anak baru?"

"Oh, gue anak XII-IPA 1." 

Laki-laki itu tak meneruskan ucapannya. Merasa kalimatnya nanggung, barulah ia sadar.

"Gue Arya," ucapnya sambil menyerahkan jabat tangan.

Alah, pakai acara kenalan segala. Dasar modus, batin Irene.

Seakan datang tanpa diundang, Irene langsung menyela percakapan mereka dan ikut bergabung, "Tapi, kok gue belum pernah lihat lo, ya?"

Yaiyalah Ren, lo kan anti sosial, batin Kayla.

"Gue anak OSIS kok. Tapi, emang divisi yang di belakang layar aja sih, hehe."

Terus menatapnya, laki-laki itu justru memberi isyarat lain yang tidak bisa ditangkap jelas oleh Irene. "Gue kayak pernah tahu lo. Irene, bukan?" 

Yang duluan kenalan siapa, yang diajak ngomong siapa, batin Kayla.

"Iya, lo Irene kan? Gue sempet jadi anggota perpustakaan waktu kelas satu, kalau lo inget. Waktu perpisahan tahun lalu,  lo yang baca puisi di podium, kan?"

Sejenak, Irene dibuat takjub. Ia tak menyangka jika selama ini ia dikenal, meski ia sendiri justru menutup diri dari lingkungan. 

Kayla yang disampingnya bahkan melongo tak percaya.

"Yaudah, gue mau ke ruang OSIS dulu, bahas agenda perpisahan tahun ini."

Kayla yang tak mau diacuhkan begitu saja mencegah sebelum pergi, "Eh, infoin dong rencana perpisahan ke kita!"

"Katanya sih, bakal ada drama musikal, dan juga bakal diundi satu penampilan lagi usulan dari anak-anak."

"Oh ya? Kalau gitu gue minta tolong dong, usulin gue buat baca puisi waktu perpisahan, boleh nggak?" Irene yang setiap tahun memang langganan menjadi pengisi acara perpisahan kembali menawarkan diri.

"Oke, bakal gue usahain. Yaudah gue duluan, sampai ketemu nanti."

Kini, mereka berdua tidak berhenti berkata . 

"Wah, kayaknya kita bisa jadi ladang informasi nih buat anak-anak." 

"Kita mah nggak ada apa-apanya dibandingin mereka! Tuh!" dengan menunjuk ke arah kerumunan yang dipimpin oleh Ristya, mereka yakin pasti berita yang dibawa kelompok murid aktif akan lebih bermutu daripada rumor yang mereka berdua miliki.

💌

"Eh Fir, tungguin!" 

Irene yang kelimpungan sebab tugas Bahasa Inggris yang tak kunjung rampung terus mengawasi Firda, sebab hanya tersisa mereka berdua yang tugasnya belum lengkap. Ditambah lagi ulah teman-temannya yang bukannya membantu malah makin membuat kekacauan.

"Ayo Ren cepetan Pak Lucki udah mau nyampe di ruang guru!" teriak Haris, ketua kelas.

"Fir, pinjem stapler!"

"Itu, ambil stapler Joko di atas meja gue! Cepetan!"

Setelah selesai men-staples kertas folio itu, Irene berlari mengejar perginya Pak Lucki. Langkah Pak Lucki yang cepat dan jarak kelasnya dengan lapangan upacara yang cukup jauh membuat Irene dan Firda harus mengeluarkan tenaga ekstra. Dan saat beliau sampai di depan ruang guru, mereka berdua meneriaki nama beliau sehingga beliau tak jadi masuk, dan berhasil memberikan tugas tersebut dengan tepat waktu.

Setelahnya, mereka berjalan ke arah yang berbeda. Firda menuju kelas XI-IPA 1 untuk panggilan ekstrakurikuler, sedangkan Irene kembali ke kelas.

Panas matahari membuat penglihatan Irene terganggu. Ia yang memang lahiriah bermata kecil terlihat seperti benar-benar menutup mata. 

Saat hendak melewati lorong, tanpa sengaja terdengar suara langkah gaduh mendekatinya.

Duh, jangan-jangan anak Devil's lagi.

"Re!"

Tuh kan, ada yang manggil gue. Itu pasti mereka!

Tepat saat Irene memberanikan diri berbalik, seorang Arya justru sudah berdiri di depannya. Eskpresi setengah ngos-ngosannya membuat Irene kebingungan.

"Lo lari sampe begini cuma mau ketemu gue?"

Duh, Irene, kepedean mulu daritadi.

"Ren, gue mau ngasih tahu sesuatu. 

Sambil mennjulurkan tangan, Arya memberi selamat, "Lo disetujui untuk jadi salah satu pengisi acara buat perpisahan nanti."

"Sumpah? Lo nggak lagi halu, kan?"

Mana ada gue halu di depan lo

"Lo kelihatan seneng banget. Gue jadi ikutan seneng lihatnya."

Ya, Irene memang tidak pernah sebahagia itu.

"Yaiyalah gue seneng banget! Kalau gue lulus, entar guru-guru di sini bakal kangen sama puisi-puisi karya gue."

Arya hanya tersenyum membalas. 

Kepedean lagi kan lo.

"Udah ya, gue mau balik dulu, nggak enak kalau ada yang lihat, dikiranya kita berduaan lagi."

"Ah, kepedean lo!" ujar Irene sambil menyikut lengannya.

Dih, nih anak lucu juga kalau salah tingkah.

"Untuk berdiri di hadapan lo juga harus percaya diri kali." 

Seketika, situasi canggung muncul.

"Yaudah, gue duluan ya!" Arya pun melambaikan tangannya dan perlahan bayangannya menghilang.

"Hari yang cerah, sesuai dengan suasana hati gue,"  Irene, sembari memperhatikan sekeliling. Dan saat ia menoleh ke arah kanan, dilihatnya samar-samar seseorang berdiri di ujung lorong.

"Itu siapa?" 

Diperhatikannya lamat-lamat, namun seketika buyar saat seseorang menepuk bahunya.

"Woy, lo ngapain disini? Dari tadi dicariin juga."

"Lo kayak dedemit aja sih ngagetin gue!"

Dih, nih anak nyama-nyamain gue sama si dedemit, batin Kayla. 

"Habis ketemu siapa sih?" 

Irene hanya menggeleng saat ditanya.


Itu siapa? Apa dia penguntit? Apa, dia juga ndengerin percakapan gue sama Arya? Kayaknya, gue pernah lihat postur tubuh yang tinggi kayak gitu deh. Tatapannya tajem, tapi siapa?

***


DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang