BAB 3 : Pertemuan Kedua

1.1K 58 5
                                        


Pagi ini, Irene berencana untuk datang lebih awal dari biasanya. Hari ini akan diadakan lomba perpustakaan kelas di sekolah, sehingga ia harus mempersiapkan segala hal demi kemenangan kelasnya, terlebih lagi seluruh murid IPA 3 mempercayakan hal ini padanya sebagai "perempuan dengan nilai literasi tinggi". Beberapa buku bacaan ia beri sampul dan label buku, serta segala aksesoris untuk mempercantik sudut baca di kelasnya.

Udara pagi memang menenangkan hati. Ditemani motor bebeknya, Irene menyusuri setiap sudut kota dengan santai. Sesekali mendendangkan lagu yang terdengar dari headset di telinganya, serasa perjalanan pagi itu sengaja dipersembahkan untuknya.

Dan tepat saat lampu lalu lintas berwarna hijau, tepat saat dirinya hendak memacu kemudi, seseorang berkacamata hitam justru berdiri di depan motornya. Irene yang hendak melajukan motornya langsung ditahan, dengan sekali cengkraman di spionnya.

"Woy! Lo udah nabrak mobil gue!"

Di hadapan Irene yang tak bisa mendengarkan apa-apa, laki-laki itu hanya komat-kamit tak jelas, memasang muka aneh, dan ia hanya menontoninya dengan sabar.

Sekali dua kali pemilik mobil tersebut berteriak, hingga menjadi tontonan tersendiri bagi seluruh pengguna jalan, dan lagi-lagi Irene masih belum reaksi. Seakan menyadari sesuatu, barulah salah satu headset di telinganya ditarik paksa, barulah Irene memahami situasi ini.

"Maaf, siapa ya?"

Melihat reaksi Irene yang terus menjengkelkan, pemilik mobil pun melepas kaca mata hitamnya dan menampilkan kemarahan aslinya.

"Lo? Yang kemarin di perpustakaan, bukan?"

*****

Dan perdebatan selama kurang lebih satu jam itu harus berujung pada takdir yang mengenaskan. 

Terlambat lagi.

"Nah, tuh kan, kemarin janjinya apa, hayo? Kok sekarang masih di luar?" Pak Bibu yang menyaksikan Irene terkurung di luar menggodanya dengan lepas.

"Tolong buka gerbangnya dong Pak," sambil memelas, Irene terus memohon.

"Kamu ini, sukanya kok telat."

"Siapa juga yang mau terlambat, Pak. Ini kebetulan, Pak, terpaksa!"

"Nggak bisa. Kamu nggak boleh masuk sebelum upacaranya selesai!"

Dan untuk pertama kalinya, Irene mendapat penolakan secara mentah-mentah. Jika biasanya ia selalu berhasil mengambil hati Bu Azizah, mungkin untuk kasus Pak Bibu, ia harus belajar lebih untuk menarik hati laki-laki.

Sesaat, Irene mendengar suara seseorang memanggil nama Pak Bibu dari kejauhan.

"Pak, Bibu, tolongg!" dengan setengah ngos-ngosan, laki-laki itu berlari mengejar Irene. Ralat - lebih tepatnya menghampiri gerbang sekolah. 

"Pak, jangan kancing saya di sini, Pak! Bawa saya masuk!"

"Lah, lu pikir lu siapa bisa masuk? Wle!"

Setelah didapatinya Pak Bibu yang berjalan menjauhi gerbang, barulah laki-laki itu tersadar akan kehadiran Irene di sampingnya.

"Eh, kenapa sih, lo selalu muncul di hidup gue?"

Dengan wajah polos yang menjadi andalannya, Irene berlagak tak mengingat apapun. "Sebentar, emang gue kenal ya sama lo?"

"Heh, lo nggak usah munafik, jelas-jelas lo orang yang nabrak mobil gue! Lo harus ganti rugi mobil baru."

Ucapan yang terdengar tidak tahu aturan itu langsung mendapat pukulan keras dari Irene, "Enteng banget ya ngomongnya! Jelas-jelas lo yang ada di belakang gue, kenapa juga gue yang salah?"

"Lo yang salah, pake kuping disumpal segala. Akhirnya lo nabrak mobil gue kan! Melanggar aturan lalu lintas itu namanya!"

Meski laki-laki tersebut terus mengadu pada Irene, menghukumi Irene dengan segala tuduhan, Irene justru asyik bersiul pura-pura tak mendengar segala ocehannya.

"Nye nye nye nye," bualnya terus menerus setiap kali Tora berbicara panjang lebar.

Tora mendengus kesal. Sebenarnya, hati perempuan ini terbuat dari apa sih? Harusnya dia sadar dengan tindakannya dan bukannya mengelak dengan kekanakan seperti ini.

"Eh, gue akan kasih tahu satu sekolah kalau lo sengaja ngerusak mobil gue. Lo bisa dituntut karena upaya mencelakakan orang lain."

Irene yang mendengarnya hanya cengar-cengir. "Heh, nggak akan ada yang percaya sama lo."

"Oh, siapa bilang? Nih gue kasih tau sama lo, gue ini Tora, satu sekolah takut sama gue. Jadi, sebuah kemustahilan bila tidak ada yang patuh dengan setiap perkataan gue."

Irene kembali melongo. Laki-laki ini berbicara apa sih? 

"Oh, ya? Terus, menurut lo tindakan Pak Bibu tadi menunjukkan bahwa semua orang harus berlutut ke lo, gitu?"

Tora terdiam. Gadis ini berhasil membuat sisi lain dari Tora muncul. 

"Eh, gue kasih tau ya, lo boleh terkenal, tapi setidaknya lo punya sikap yang bisa jadi teladan untuk orang lain. Cowok yang beraninya cuma sama cewek, suka bikin nangis, bukan yang sama sekali bisa dicontoh. Dan itu keahlian lo, kan?"

Seakan dihujani kerikil panas, emosi Tora benar-benar memuncak. Ia sangat membenci setiap kata yang diutarakan Irene, yang menurutnya sudah di luar batas kesabarannya. Kedua matanya membulat, menampilkan wajah yang tersulut api kemarahan.

Sebuah telunjuk yang menunjuk keras dahi Irene berhasil membuat Irene bergerak mundur.

"Jaga ya omongan lo!"

Dan benar, Tora berhasil menumpahkan dendam itu dengan nadanya, yang keras.

"Lo nggak waras, ya? Harusnya lo ngaca, lo cuma cewek nggak tahu diri yang berani main-main sama gue!"

Dan puncaknya, Irene harus mengalami hal yang memalukan. Menangis.

"Dasar cewek caper!"

Irene yang dibuat terkejut tidak bisa berkata-kata. Seakan pemandangan tersebut baru kali ini ia alami, dimana selama hidupnya ia tak pernah menerima perlakuan tersebut, sebab tak pernah ada sosok laki-laki dalam keluarganya.

"Brengsek!" dengan lirih Irene mengucapkan dengan lantang dan langsung berlalu meninggalkan Tora begitu Pak Bibu membukakan pagar.

Tora dibuat mematung, seperti tak menyangka bahwa ia melakukan hal tersebut kepada  perempuan yang bahkan baru ditemuinya beberapa hari lalu. Tora yang melihatnya sebenarnya ingin mencegah, namun hatinya merasa sikapnya terlalu keterlaluan untuk dimaafkan.

"Woy tunggu!"

Ia hanya terus berteriak berharap Irene ingin berbalik dan memaafkannya. Tidak, setidaknya untuk menatap wajahnya kembali saja. 

Tapi yang ada justru Pak Bibu yang datang menghampirinya. Beliau yang menyaksikannya hanya bertanya-tanya.

"Kunaon, Tora?"

"Pak Bibu jangan nyebar gosip apapun ke semua guru tentang pagi ini, oke?"

Ia juga berbicara kepada beberapa anak yang ikut mengantre pagar di belakangnya, "Kalau sampai ada yang jadiin bahan gibah, gue bunuh kalian!"

Dengan napas yang tersengal, Tora berlari ke arah lapangan, menembus kerumunan, dan berharap masih dapat menemukan perempuan itu.

Tora, kenapa lo ngelakuin ini ke cewek untuk kedua kalinya, sih? 

*****

DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang