Aku masih mencoba mengingat kembali apa yang baru saja aku alami. Melihat dua wanita yang menangis di sudut ruangan dengan kedua tangan mereka yang saling menggenggam. Sementara di sebelah ranjangku, ada seorang perempuan yang masih setia menggenggam jemariku dan tak ingin melepas. Dan di sebelahnya berdiri seorang pria tegap yang hampir meneteskan air mata, tetapi bisa ku lihat pelupuk matanya tak dapat lagi membendung tetes itu. Aku tau, air itu memiliki tujuan ketika turun.
Aku masih disini dengan rasa sakit yang tak karuan. Aku bingung seketika. Bagaimana bisa aku begitu lemah untuk bisa membuka mataku, demi orang-orang yang tengah menunggu kehadiran ku.
Sekilas, ingatanku kembali pada sosok yang menatapku kebingungan. Sosok yang tak dapat ku temukan di ruangan ini, padahal kehadirannya aku harapkan. Entah kenapa, aku merasa ia begitu terkejut melihatku yang terkapar dengan rasa sakit yang tak terelak saat itu. Namun, dimana dia sekarang?
Aku juga sempat berpikir, bagaimana bisa aku bertemu dengan dia?
Sungguh, memoriku seolah beku saat ini juga dan tak dapat mengingat segalanya.
***
"Gue nggak nyangka kalau akhirnya bakal kayak gini!" seisi ruangan seketika tersentak mendengar Dika yang berteriak dengan lantang.
"Terus sekarang Tora ada dimana?"
"Masa bodoh. Gue nggak peduli sama dia sekarang. Gue benar-benar kecewa sama dia!"
"Tapi kita nggak bisa kayak gini lah Dik. Sebelumnya kita nggak tau kalau ternyata Tora diem-diem pacaran sama Irene. Dan, kita semua tau sendiri kalau Tora nggak pernah ngelakuin ini sebelumnya. Dia nggak akan sebodoh itu untuk ngelakuin ini semau dia.
"Seharusnya, kita dengerin dulu penjelasan dia dan nggak secepat itu percaya sama omongan mereka!" serunya sambil menunjuk ke arah luar, yang menandakan ia masih dendam dengan anak-anak Macan Putih.
Dan mendadak, seluruh pasang mata menatap Chiko penuh makna.
"Jadi menurut lo, apa yang gue lakuin salah?" Dika yang menyadari hanya dapat menghela napas pasrah.
Keheningan menyelimuti mereka selama sekian detik.
"Mendingan sekarang kita samperin Tora. Gue tau dia pasti tertekan sekarang."
***
Antara benci dan rasa bersalah. Gue ngerti, gue terlalu munafik untuk bisa cerita semuanya ke anak-anak, apalagi Dika. Gue yakin seratus persen, dia pasti kecewa berat. Di sisi lain, gue kaget bukan main. Kenapa anak-anak bisa semudah itu percaya sama mereka. Padahal, mereka belum tau yang sebenarnya. Jujur, gue kecewa sama mereka.
Di sisi lain, pikiran gue masih kebayang sama sosok yang sekarang lagi naruhin nyawanya.
Irene.
Apa iya gue ke rumah sakit di mana dia di rawat sekarang?
Atau gue justru kabur dan nggak minta maaf sama dia?
Di satu sisi, gue tau orang tuanya pasti marah besar sama gue. Secara, dengan tampang berandalan seperti ini, gue nggak mau Irene dimarahin karena bergaul dengan orang seperti gue. Sedangkan gue? Gue yakin seratus persen kalau orang tuanya pasti langsung ngecap gue sebagai anak nakal yang kurang perhatian orang tua.
Gue nggak tau harus gimana sekarang. Hati gue hancur. Perasaan gue nggak tentu. Antara gue harus balik ke markas, atau justru balik ke rumah.
Atau justru ke rumah sakit dan ngejenguk Irene?
Tuhan, setidaknya kasih gue satu aja kebaikan yang bisa gue lakuin, meskipun gue tau gue udah keterlaluan. Sekalipun, itu ngorbanin harga diri gue.
Kalian mungkin ngira gue tegar, setegar batu cadas. Tapi gue bisa sangat rapuh, jiwa gue terluka selamanya, rasanya seperti mengalami 100 kematian.
****
Kehidupan di SMAN 112 Bandung masih berlangsung seperti biasa, meski kini sebagian besar muridnya mendapat berita paling mengejutkan yang pernah dialami angkatan mereka sejauh ini.
"Eh, asalkan kalian semua tau ya, Irene itu emang dasarnya ganjen sama Tora! Ya nggak salah lah kalau dia sampe masuk rumah sakit, ya karena itu salah dia sendiri ngikutin Tora sampe masuk ke kehidupannya. Gue aja disini cuma bisa ngeliat dia, nggak berani aneh-aneh. Dunianya Geng's Devils itu hitam, nggak sama seperti kita." Ristya masih disana, mengompori semua orang dengan ide busuknya.
"Ah, masa iya sih Ris?"
"Iya! Eh, kalau kalian nggak percaya, kalian bisa jenguk tuh dia di rumah sakit."
Seluruh murid memerhatikan segala suku kata yang keluar dari mulut busuk Ristya. Yang benar saja, dengan kejadian ini ia memanfaatkannya untuk menjatuhkan harga diri Irene. Kayla yang juga ikut memperhatikannya dari kejauhan hanya dapat menghela napas panjang. Ia tak menyangka seorang Ristya tega melakukan ini pada sahabatnya sendiri.
Semuanya seakan tak mempercayai Irene lagi, termasuk seluruh teman-teman sekelasnya. Dan pada jam mata pelajaran biologi usai, sang ketua kelas pun mulai membahas persoalan yang tengah hangat itu.
"Eh kawan, kalau dipikir-pikir, omongan Ristya tadi tuh nggak jelas."
"Lo suka aja," timpal Shafira.
"Mana ada yang suka sama codot mulut ember!"
"Gue nggak percaya kalau Irene nyatanya kayak gitu. Irene mah anaknya baik, supel." Jaja, sang ketua kelas berusaha untuk memberi aura positif di suasana kelasnya.
"Ya, sekarang aja si Ristya udah punya buktinya loh, kalau Irene emang benar-benar dirawat di rumah sakit," seketika semua murid langsung menyahut setuju.
Dan di sudut kelas tempat bangku Irene dan Kayla duduk, Kayla masih merenung menatap ke arah luar jendela. Ia masih bingung harus berbuat apa sekarang. Ia kehilangan hari-hari bersama Irene. Yang biasanya selalu bercanda dengan Irene, kini ia harus bercanda dengan hampa.
Sekarang gue ngerasain yang namanya kesendirian. Sendiri disaat banyak masalah. Mungkin itu juga yang sekarang dialami Tora.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam
Teen Fiction"Saat kau merasa tersakiti oleh seseorang, menangislah, tak apa. Karena mungkin, itu salah satu caramu untuk menghadapi seseorang yang pernah menggores luka di hatimu. Setelah kau merasa lelah, menangislah, tak apa. Mungkin, itu salah satu cara jitu...