Suara denting lonceng yg terpasang di pintu masuk bar memberi isyarat seseorang telah tiba. Galih yang tadi sibuk bergelut dengan nota dan pengeluaran buru-buru mengemasnya.
Tidak ada ucapan selamat datang atau seruan penyambut, sebab orang-orang yang datang itu, Galih rasa bukan hendak mencarinya.
Dengan diikuti lima pria bertubuh kekar, seorang perempuan berjalan memimpin di depan. Galih kenal dia, sebab dia salah satu anak konglomerat dalam bisnis yang sama sepertinya.
"Selamat siang," sapa perempuan itu.
Galih hanya tersenyum, memberi kesan ramah semaksimal mungkin. Sedangkan perempuan itu justru dengan tampang penasarannya terus menilik setiap sudut bar. Galih sedikit banyak tau strategi seperti ini.
"Tempat bagus seperti ini, kenapa belum pernah nyari investor?" Perempuan ini bisa saja akan membuat Galih mengiyakan ajakan mulus itu, tetapi hasrat seperti ini sudah kebal bagi Galih.
"Kita baru berdiri 1 bulan, masih belum ada rencana untuk promosi semacam band atau lain-lain."
"Kita? Berarti bukan hanya kamu yang mengelola tempat ini?"
Perempuan itu tersenyum tipis. Mendekatkan tubuhnya agar percakapan terasa lebih intens. "Sepertinya, usahamu dengan temanmu itu tidak akan cukup berkembang. Kalau kamu mau masa depan yang lebih cemerlang, kita bisa menjadi aliansi."
Galih tidak bereaksi. Tetap pada pendirian semula.
"Sebentar, untuk urusan seperti ini, orang lain biasanya datang dengan pakaian formal dan membuat janji terlebih dahulu untuk membahasnya. Namun, kedatangan Anda terlalu tiba-tiba."
Raut wajahnya berubah seketika. Memaksanya untuk mengalihkan pembicaraan. "Maaf sudah membuatmu terganggu. Aku hanya tidak ingin semuanya berjalan melenceng dari rencana jika kamu tidak segera menjawab."
"Entahlah, kedatangan tiba-tiba seperti ini terasa janggal setelah apa yang baru saja menimpa kami."
Galih senang dengan situasi ini. Situasi yg mendesak seseorang untuk berkata sejujurnya. "Bukannya Anda orang yang sering dibicarakan Tora, ya? Apa saya salah?"
Ucapan Galih seakan menjadi boomerang untuk tak basa-basi lagi.
"Lo menggaet Tora biar perusahaan Papanya mau tanam modal di tempat lo, kan?"
Seakan tuduhan tak bersyarat, Galih justru kaget dengan pernyataan itu.
"Jadi, kalian berdua rival?"
Mendengar kalimat itu, entah bisikan darimana, lima orang tadi mulai ancang-ancang dan pasang badan. Tapi dengan sigap perempuan itu mencegah.
Sudah mulai tersulut amarah, Ristya segera mengakhiri pembicaraan.
"Kalau Lo mau bar ini tetap aman, jangan sungkan untuk mengiyakan tawaran gue, oke?"
Meski ekor matanya belum sepenuhnya mengalihkan pandangan, Galih langsung menyudahi pembicaraan. Ia segera mengirim pesan teks kepada Tora agar segera kembali ke bar.
Situasi semakin runyam. Setelah insiden penyergapan Fahmi, satu per satu lakon mulai muncul. Sejak kedatangannya, Tora sudah berpesan agar Galih selalu berhati-hati jika suatu saat seseorang main datang ke barnya dan berbicara yang tidak-tidak. Ya, seperti hari ini.
Begitu Ristya dan komplotan meninggalkan tempat, Julian dan Kayla tanpa pikir panjang segera masuk ke dalam. Kedatangan mereka berdua seakan menjadi angin segar bagi Galih.
"Untung lo dateng, Jul," sambil merebahkan diri di kursi panjang, Galih menyiapkan dua gelas bir kepada mereka berdua.
Melihat Kayla yang merasa tak nyaman dengan lokasi seperti ini, Julian dengan cepat menyela, "gue mau kopi satu, teh satu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam
Teen Fiction"Saat kau merasa tersakiti oleh seseorang, menangislah, tak apa. Karena mungkin, itu salah satu caramu untuk menghadapi seseorang yang pernah menggores luka di hatimu. Setelah kau merasa lelah, menangislah, tak apa. Mungkin, itu salah satu cara jitu...