BAB 16 [YANG TERLUPAKAN]

523 27 0
                                    

"Eh, Irene nggak apa-apa Bun," Irene menggerakkan kedua kakinya yang sebelumnya ia rasa seperti ada sesuatu yang menggigit. Seperti nyamuk yang mengisap darahnya, seperti itulah perasaan Bundanya yang selalu rentan saat ini . Bagaimana tidak, melihat anak keduanya tengah terbujur lemah dengan luka yang masih terasa segar, mengingat luka itu masih berumur beberapa jam. Baru saja terukir beberapa jam yang lalu. Piya yang masih baru saja tertidur itu langsung berjingkat mendengar sang Bunda yang membuat sebuah teriakan lantang.


"Kamu itu ya, bisa nggak sih nggak bikin Bunda khawatir? Untung Bunda masih kuat, kalau nggak, mungkin Bunda udah pingsan saat ini juga," sebuah penjelasan singkat yang diutarakan sang Bunda membuat Irene khilaf. Ia menyesal tak mengindahkan ucapan Bundanya malam itu.

"By the way Ren, siapa sih bocah yang udah bikin kamu kaya gini? Dari semalem, dia nggak kesini tuh, nengok kamu. Masa iya, dia ngga punya rasa bersalah sedikitpun?"

Pertanyaan kakaknya membuat Irene harus mengingat kembali kejadian semalam. Sungguh, kepalanya kini terasa sedikit berat untuk bisa mengingat sesuatu yang telah ia lewati. Dan kini, kepalanya terasa pusing jika harus berpikir keras.

"Irene itu baru aja sadar Piya, dia pasti berat buat bisa nginget nginget orang yang udah bikin dia seperti ini," ujar sang Bunda yang membuatnya dapat bernapas lega. Dalam hati kecilnya, ia justru memanggil-manggil nama Tora.

Lo kemana Tor, tumben banget lo gak kesini jenguk gue?


***

"Tora!" Seruan Maulana membuat seisi rumah menjadi gemetar disertai suara gebrakan meja yang memecah keheningan di ruang makan keluarga Tora.

"Ini semua di luar kendali Tora, Abi! Tora nggak tahu kalau ternyata nyawa yang Tora pertaruhkan itu nyawa anak Tante Mirna!"

"Abi, Abi yang tenang dulu. Tora juga udah bilang kan, kalau ini semua diluar kendalinya. Tora juga nggak tau kalau ternyata Irene itu anaknya Tante Mirna," ujar kakak Tora yang masih setia mendukung Tora apa adanya.

"Tora, Abi menyekolahkan kamu di sekolah itu agar kamu bisa lebih baik! Dari awal, Abi mau kamu masuk pesantren, tapi mengingat kamu baru saja kehilangan Renata, Abi nggak tega. Tapi, apa balasan yang kamu berikan pada Abi? Kamu justru semakin menjadi! Abi sudah muak dengan semua ini Tora! Dan sekarang, kamu sudah membuat kesalahan terbesar dengan membuat anak Mirna masuk rumah sakit dengan kondisi yang tak tanggung-tanggung!"

"Tora, Abi mau kamu keluar dari rumah ini."

Bagai disambar gemuruh di tengah malam, saat itu juga ia harus kehilangan seluruh hidupnya. Kehilangan masa lalunya, sahabatnya, dan keluarganya.

***

Suasana markas Geng's Devils tidak seperti biasanya. Ruangan itu seakan hampa, sama seperti hati masing-masing personelnya yang kini hampa tanpa keberadaan Tora di sisi mereka.

"Gue nggak bisa bayangin, gimana bisa kejadian ini ada disaat keadaan lagi kacau-kacaunya."

"Biasanya, Tora jam segini lagi mangkal di tambak belakang sekolah buat ngerokok."

"Ah, mana kita belum dapet petunjuk sama sekali soal keberadaannya Fahmi."

Tiba-tiba Julian datang dengan membawa sekotak kue lapis, yang biasanya Tora akan menjadi orang pertama yang menyantapnya, sekaligus menghabiskannya.

"Assalamualaikum." Dan salam dari Julian memecah keheningan dan membuat semuanya terkejut dengan apa yang dibawanya.

"Percuma Lo bawa begituan. Orang yang Lo maksud udah pergi buat selamanya," dan sepenggal kata dari Dika membuat semua membelalak.

"Dika, nggak baik lo ngomong begitu. Tora emang udah buat kesalahan, tapi bukan berarti Lo bisa nge judge dan nge hukum dia kek gini."

"Iya Dik, gue jadi merasa bersalah atas perlakuan kita semalem. Gue tau, Tora pasti kecewa kuadrat sama kita," kedua ucapan yang sedari tadi memenuhi ruangan itu justru tak dimengerti oleh Julian.

"Lo semua kenapa sih? Kenapa kalian ngomong kayak gitu? Dan, Tora dimana? Tumben batang hidungnya kaga nongol."

"Jul, andai Lo hadir di kejadian semalem, mungkin ini semua nggak bakal terjadi."

***

"Masa iya gue musti balik ke Bengkulu," Tora berpikir keras untuk berusaha mencari jalan keluar dari semua masalah yang sudah ia perbuat.

Tora benar-benar terpuruk sekarang. Semua impiannya terkubur dalam-dalam. Kehilangan sahabat, Abi, dan juga Irene. Sungguh, ia tak menyangka kejadian semalam akan terjadi padanya.

"Ah, gue musti cari keberadaan Fahmi, dengan cara gue sendirian, dan gue bakal musnahin dalang dibalik semua drama ini. Yang bikin gue kehilangan segalanya."

Tangan Tora mengepal, penuh dendam yang sudah tak berujung. Ia benar-benar bertekad untuk mencari Fahmi seorang diri, meskipun sahabat-sahabatnya yang lain sudah melupakannya, ia tak ingin kehilangan Fahmi. Fahmi sudah bagaikan saudara sendiri karena memang ia sahabatnya sejak kecil.

Tora kembali menjalankan motornya menuju ke salah satu cafe yang terletak di salah satu sudut Kota Bandung. Cafe langganannya, meski justru lebih layak disebut dengan bar.

Ia memarkirkan motornya di depan bar dengan sedikit tergesa. Sampai di dalam, ia langsung mencari Galuh, salah satu temannya di klub geng motor, diluar kelompok Geng's Devils.

"Lo banyak masalah banget, sampe Lo minum sebanyak itu."

Galuh mengambil satu gelas yang sebenarnya akan Tora teguk, demi mengurangi kebiasaan buruknya yang tergantung pada alkohol.

"Gue kehilangan semuanya."

Tora menceritakan segalanya pada Galuh, meskipun di raut wajah Galuh lebih terlintas wajah tak percaya.

"Terus, Lo mau gue bantuin apa?" Galuh menawarkan diri, karena ia telah berhutang budi pada Tora sebelumnya.

"Gue mau, Lo grebek tempat diculiknya Fahmi, dan lo cari tahu siapa pentolan anak Macan Putih."

Sorot mata Tora tajam. Ia benar-benar yakin bahwa Galuh dapat membantu permasalahannya kali ini. Karena Tora tak memiliki seseorang lagi yang bisa dipercayai.

"Gue bakal bantu, lo tunggu aja kabar dari gue."

Dan Tora keluar dari bar, dan pergi ke rumah sakit. Ya, rumah sakit tempat Irene dirawat.

***

DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang