BAB 20

218 12 4
                                    


"Lo mau bawa gue ke mana?"

Di sebuah gang sempit, Julian memarkirkan motornya, dan menitipkannya kepada seorang pemilik toko di sudut jalan.

"Udah diem aja, entar juga lo paham."

Mendengar jawaban Julian, Kayla semakin yakin bila Julian membawanya ke tempat yang tak biasa. Ke wilayah yang jauh dari kata 'aman' untuk label perempuan. Lihat saja, botol bir berserakan di sepanjang jalanan, hanya pria-pria mabuk yang  berlalu lalang dan sesekali memberi sedikit gangguan pada Kayla, hingga membuatnya risih.

"Jul, gue nggak betah."

"Deket-deket aja sama gue, biar mereka nggak pada gangguin lo."

Kayla pun semakin merapatkan jarak langkahnya dengan Julian dan berusaha secepat mungkin mengimbangi langkah Julian yang panjang.

Tiba di depan sebuah bar, Julian menghentikan langkahnya. 

"Lo mau bawa gue seneng-seneng?"

"Cewek diem sebentar bisa nggak sih?" Kali ini, Julian sedikit membentak. Membuat jantung Kayla semakin bergemuruh. Merasa menjadi beban, secara sukarela Kayla menunggu di pinggir pintu dan tak ikut masuk demi kelancaran misi. Kepalanya dibuat terus menunduk untuk menjaga pandangan dari mata laki-laki dewasa yang tak dikenalnya.

Julian yang telah memgang gagang pintu dan siap memasuki bar merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan. Ia pun memberikan jaket yang sempat ia kenakan selama perjalanan dan memberikannya pada Kayla.

"Pakai jaket gue, tudungnya bisa bantu buat sembunyiin wajah lo," dengan memberikan barang kesayangannya pada seorang perempuan, Julian sempat tak rela.

"Tapi, jangan lo apa-apain jaket gue, lo yang pertama pegang itu jaket."

Kayla mengangkat wajahnya, menampilkan ketakutannya yang tersembunyi dari raut wajah. Usaha pertama telah gagal, sebab identitas Julian sebagai pelajar yang sesungguhnya telah terungkap dari seragam yang ia kenakan.

Terasa hening beberapa saat. Kayla tak kunjung menerima pemberian itu dan membiarkan Julian menatap wajahnya penuh arti.

Namun hal itu tak berselang lama. Secara bersamaan, sekelompok orang berpakaian serupa keluar dari bar dan memaksa kedua remaja itu bersembunyi dengan cepat. Tanpa pikir panjang, Julian langsung menarik tangan Kayla dan membawanya ke sebuah gang sempit.

Setelah kelompok penjahat itu berhasil pergi jauh dari lokasi, sepuluh detik kemudian seorang pria berpakaian pegawai muncul dari dalam bar. Di kedua tangannya dibawalah beberapa box minuman yang tak asing di mata Julian.

"Itu anggur yang biasa gue minum," bisikan lemah itu tanpa Julian sadari terdengar sampai telinga Kayla.

Lo pernah mabuk dong, berarti?

Kemudian, pria tersebut memacu motornya secepat kilat bersama beberapa  box minuman di tumpangannya. Melihat Julian yang berjalan keluar dari gang sempat tak diikuti oleh Kayla.

"Kenapa masih diem di situ?"

"Gue takutnya, ngerusak rencana lo lagi."

"Gue butuh lo kali ini," Julian membalik badan, membawa Kayla membuntuti pria tersebut.

****

Kamar berdebu itu menandakan bahwa ia telah lama ditinggalkan. Jendela yang dibiarkan terbuka membuat seisi kamar yang berantakan terlihat jelas dari luar garasi. Semua barang yang ditelantarkan oleh sang pemilik saat terakhir kali  menginjakkan kaki di tempat tersebut memberi kesan tersendiri dalam penglihatan dan menampilkan seribu pertanyaan dari sekian banyak cerita yang telah dilewati selama ini.

"Tuh, Kakak sampai obrak-abrik kamar kamu demi nyari diary kesayangan kamu," Piya meledek sang adik yang dinilai telah menjadi penyebab dari kerusuhan di kamar Irene.

"Orang diary nggak kemana-mana dicarinya seisi rumah. Berarti yang berantakin rumah selama ini Kakak lah," Irene mencoba membela diri di tengah kondisinya yang tak berarti.

"Ya ampun Irene, udah bagus Kakak kamu masih mau nyari barang pribadi kamu itu, sampai  ubek-ubek isi kamar. Mbok ya sampai rumah jangan marah-marah terus bawaannya," Bunda yang baru saja meletakkan koper di kamar Irene dibuat semakin lemas dengan perdebatan di antara kakak beradik itu.

Sejak diperbolehkan kembali dari rumah sakit oleh dokter, sepanjang malam Irene tak henti-hentinya bersyukur. Selain bisa keluar dari bayang-bayang peneror di rumah sakit sebelumnya, Irene akan melepas masa rindunya dengan kembali ke sekolah. Begitu menginjakkan kaki di kamar, Irene segera menghampiri meja belajarnya yang selama ini menjadi tempat pertama ia berkeluh kesah. Ia pun mendudukkan diri di atas meja belajar tanpa berhati-hati. Alhasil, luka yang belum pulih sepenuhnya itu harus terbentur meja. 

"Aw!"

"Ada apa?"

Suara itu muncul ketika Piya telah  meninggalkan Irene. Pertanyaan yang berasal dari suara yang tak disangka itu mengalihkan perhatian Irene.

"Kayla?"

Tanpa basa-basi, Kayla melanjutkan langkah memasuki kamar Irene. Di daun pintu, berdiri Julian dengan pakaian yang basah.

"Kalian tau darimana gue udah sampai rumah?"

"Ceritanya panjang Ren. Berkat pengakuan Lo di rumah sakit kemarin, satu kasus udah terungkap."

"Kasus?"

Irene merasakan perutnya kembali memunculkan gejolak perih. Ia merintih, mendengar hal tersebut Julian langsung tanggap dengan menggendong Irene ke atas ranjang.

Entah perasaan dari mana, Kayla langsung memalingkan wajah ketika Julian dengan sigap meraih Irene.

Gue mikir apaan sih!

"Makasih Jul," dengan seulas senyum Julian membalasnya.

"Kasus soal keberadaan Tora?"

Mendengar nama Tora disebut, Julian dan Kayla langsung saling pandang. Memunculkan urat kegelisahan di wajah Irene.

"Ada apa sama Tora?"

"Ren, Lo beruntung pernah berbagi rasa sama Tora."

Sekali lagi, pernyataan Kayla membingungkan Irene.

"Tora-"

Belum sempat merampungkan kalimatnya, Julian dengan cepat membekap mulut Kayla dengan satu telunjuk.

"Tora baik-baik aja, dan Fahmi juga udah ketemu."

"Fahmi udah ketemu?"

Berbeda dengan reaksi bahagia yang ditunjukkan Irene, Kayla justru berdiri dan berjalan meninggalkan kamar dengan tergesa. Seakan, ia memberi waktu kepada Julian untuk mengatakan yang sebenarnya pada Irene.

"Tapi, nyawa Tora yang jadi imbalannya."

"Maksud Lo?"

"Tora nyerahin diri ke polisi karena dijebak sama penculik Fahmi."

Dua detik kemudian, tetes air turun dari mata Irene. Melihat reaksi Irene, Julian tak kuasa. Ia paling benci dengan perempuan yang menangis.

"Lo yang tenang, yang sabar. Gue bakal bantu lo untuk bawa Tora bebas dari pengaruh polisi."

"Kenapa dia ditangkap gitu aja?"

"Saat itu, Tora dituduh sebagai pengedar minuman keras, karena selama ini dia kerja di bar untuk menghidupi diri."

"Bar?"

Irene tak henti menangis. Ia merasa, kepulangannya disambut berita buruk dari orang yang ia sayangi.

Sementara itu, dari bilik jendela, seseorang tengah memantau pembicaraan singkat yang menuai hasil untuk pencarian selama ini.

Hancur lo sekarang!

*****

DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang