Ke hadapan jendela, hati Irene merapuh. Setiap desus angin yang melewati ruang kosong di sisinya terus menggemuruh, mengiringi Isak tangisnya yang sejak kemarin tidak bisa dipendam.
Tak ada kata yang bisa ia suarakan. Setiap halaman buku harian di dekapannya seakan menjadi saksi, bahwa memiliki seseorang tidak semudah yang dipikirkan.
(Beberapa bulan sebelumnya)
Sore itu, Irene benar-benar memenuhi permintaan seseorang dalam surat itu. Sebenarnya, ia merasa curiga dengan isi surat yang mengarah pada ancaman tersebut. Namun, demi bisa untuk keluar rumah, mungkin hanya ini satu-satunya cara.
"Akhirnya, gue bisa keluar rumah juga!" Girangnya.
Tanpa berlama-lama, ia asal mengikat rambut panjangnya yang tergerai dengan indah di depan kaca. Selepas itu, pergilah ia menuju taman belakang kompleks perumahannya dengan tergesa. Dengan semangat membara, membuat degup jantungnya tak bisa mengontrol emosi untuk segera bertemu.
Sebenarnya, ia juga heran, mengapa ia menjadi begitu sigap dan bersemangat. Sedangkan ia sendiri tak tau, pesan singkat tersebut bersumber dari siapa. Bisa saja dari orang jahat, bukan?
Dan semua pertanyaan itu terjawab sudah. Sesampainya di sana, tak seorang pun muncul kecuali dirinya seorang.
"Ya udah sih, gue tunggu setengah jam lagi."
Lama Irene menunggu, hingga waktu menunjukkan pukul 16.30 dan hari mulai petang, namun tetap tak ada salah seorang pun yang menghampirinya. Di situlah terbesit alibi-alibi aneh.
"Duh, perasaan gue kok nggak enak ya," raut mukanya gelisah, tak henti menggerutu dan berharap penantiannya segera berakhir.
"Jangan-jangan, gue dijebak lagi?"
"Lo nggak dijebak kok."
Sebuah suara mengejutkannya, merasa sumbernya berasal dari manusia yang ia harap adalah orang yang hendak menemuinya.
Irene pun memalingkan pandang, dan mendapati seorang laki-laki berkaos navy yang dirangkap jaket dengan bawahan jeans yang melengkapi pesona laki-laki tersebut, berdiri di belakangnya.
Seketika Irene membeku, bola matanya membulat.
"Tora?"
"Hai, Ren. Kaget ya?"
"Kok, lo bisa ada di sini?"
Irene hanya diam. Mengapa yang ada di hadapannya sekarang justru si biang sial ini?
"Lo lucu juga kalau lagi bege."
"Lo mau ngapain di taman ini?"
"Suka-suka lah."
Dengan sedikit cengingis, Tora berusaha untuk terus menjawab semua pertanyaan Irene yang menurutnya akan sulit ditemukan di pembicaraan lain.
"Lo ngikutin gue ya?"
"Asal banget ngomongnya!"
Dan kali ini, Tora tak bisa menahan tawanya. Mendengar tawa jahat tersebut membuat Irene yakin bahwa Tora akan macam-macam.
"Lo beneran mau njebak gue?"
Sejurus kemudian, hantaman dahsyat dari pukulan Irene membuat Tora terkesiap. Tora langsung menghindar, dan Irene yang hendak mengejar langsung berhenti karena tiba-tiba saja sakit di kepalanya tak bisa diajak kompromi.
Tora langsung terdiam. Melihat Irene yang beringsuk menyadarkannya akan niat awal.
"Sebenarnya, gue datang ke sini mau minta maaf sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam
Fiksi Remaja"Saat kau merasa tersakiti oleh seseorang, menangislah, tak apa. Karena mungkin, itu salah satu caramu untuk menghadapi seseorang yang pernah menggores luka di hatimu. Setelah kau merasa lelah, menangislah, tak apa. Mungkin, itu salah satu cara jitu...