Bab. 9

1.2K 32 1
                                    

Saat itu Kun Hiap juga memburu dan terus berteriak, "Yah, jangan mengejarnya, jangan mengejarnya! Aku akan menurut perintahmulah!"

Wi Ki Hu bukan seorang anak kecil yang dapat dibujuk begitu saja. Tubuhnya mengendap ke bawah dan sekali kaki memijak tanah, tubuhnya langsung melampaui atas kepala Hui Giok dan turun mencegat di depan si nona.

Tian Hui Giok kerupukan dan berhenti. Lalu menyurut mundur beberapa langkah. Melihat itu Kun Hiap menggentak-gentakkan kaki ke tanah saking bingungnya dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi waktu memandang kepada Hui Giok, dia terkejut.

Ternyata Tian Hui Giok tenang2 saja, sedikitpun tak mengunjukkan rasa takut. Bahkan malah menyungging senyuman.

"Hebat sekali kepandaian Wi tayhiap," serunya, "sungguh sesuai dengan kemasyhuran nama tayhiap. Aku tak tahu diri sehingga harus menjadi buah tertawaan."

Wi Ki Hu memandang nona itu dari ujung kaki sampai ke atas kepala lalu berpaling dan deliki mata kepada Kun Hiap. Sudah tentu Kun Hiap gemetar namun dia tetap memberanikan diri maju menghampiri ke hadapan ayahnya.

"Yah, soal ini tiada sangkut pautnya dengan nona Tian. Dia datang untuk menanyakan keadaan adiknya," katanya.

"Mencari adiknya," sahut Wi Ki Hu dengan nada sinis, "kalau sebagai kakak tak tahu dimana adiknya, mengapa dia bertanya keterangan kepadamu?"

Kun Hiap tercengang dan tak dapat menjawab.

Pada lain saat Wi Ki Hu tertawa dingin dan beralih tanya kepada Tian Hui Giok, "Siapakah guru nona, apakah nona tak keberatan untuk memberitabukan?"

Tian Hui Giok menjawab, "Mendiang ayahku tinggal di lembah Jut-bong-koh, Kami sendiri tak tahu bagaimana panggilannya."

"Apa tak punya she ?" Wi Ki Hu menegas.

"She Tian," sahut Hui Giok.

Mendengar itu seketika Wi Ki Hu tertegun. Cahaya wajahnya berobah-robah.

Kembali Tian Hui Giok menambah keterangan, "Mamaku dipanggil orang Biau-koh tetapi namanya ..."

Mendengar itu wajah Wi Ki Hu makin pucat. Cepat dia berpaling kebelakang dan mendamprat Kun Hiap, "Binatang . .. ." — dan wut.... sekonyong-konyong dia gerakkan tangan ke belakang untuk mencengkeram bahu Hui Giok.

Tetapi nona itu gesit sekali. Sekali bergerak dia sudah menghindar ke samping sehingga cengkeraman Wi Ki Hu luput.

"Wi tayhiap kedatangan kemari bukan bermaksud buruk," seru si nona.

Tetapi Wi Ki Hu sudah maju selangkah dan tebarkan kelima jarinya untuk menerkam, Tetapi pada saat itu tampak seorang lelaki berlari-lari mendatangi.

"Cungcu," seru orang itu dengan gugup, "Poa tayhiap dari Oulam datang. Rasanya tidak bermaksud baik. Harap cungcu segera kembali."

Wi Ki Hu tertegun.

"Baiklah, aku segera pulang," katanya sesaat kemudian.

Lelaki itu makin gugup, serunya, "Cungcu, harap lekas pulang,"

"Aku tahu." sahut Wi Ki Hu marah. Pada waktu hendak melanjutkan kata-kata, kembali seorang lelaki lari mendatangi.

"Cung-cu," seru orang itu dengan napas memburu keras, "Poa lo-ya-cu telah menerobos masuk kedalam tempat tinggal nyonya. Entah ada keperluan apa."

Mendengar itu Wi Ki Hu meraung keras dan terus loncat ke udara, bersuit-suit aneh sampai berulang kali sehingga telinga orang hampir pecah.

Mendengar keterangan dari kedua anakbuah ayahnya bahwa Poa Ceng Cay datang terus menuju ke tempat mamanya, Kun Hiap terkejut sekali. Tetapi karena ayahnya sudah lari pulang, diapun lega hatinya. Bahkan dia merasa lebih longgar karena terlepas dari tekanan ayahnya.

Kuda BesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang