Bab. 22

965 26 1
                                    

Malam itu rembulan bersinar terang. Tetapi Hui Yan tiada mempunyai gairah untuk menikmati alam pemandangan malam. Pikirnya, karena sekarang benda yang dibutuhkan itu sudah berada di tangannya, lebih baik dia cepat2 pulang.

Selain daripada kuda besi yang belum diketemukan, menilik kepandaian orang tua berpenyakitan yang begitu sakti, kiranya bukan suatu hal yang sukar untuk mendapatkannya. Asal delapan biji kuda besi .sudah terkumpul semua, Kun Hiap tentu dapat disembuhkan.

Teringat hal itu hati Hui Yan gembira tegang sekali. Dia terus kerahkan semangat lari dengan menggunakan ginkangnya, Dia ingin lekas kembali ke Biau-ciang dan bertemu dengan orang tua berpenyakitan.

Dalam sekejab saja dia sudah lari sampal enam tujuh li. Tiba2 dia mendengar suara orang mendesus. Tanpa hentikan larinya, dia berpaling. Ditingkah cahaya rembulan terang, dilihatnya ada seseorang berdiri ditepi jalan. Ternyata orang itu tak lain adalah Pek-lin tojin atau imam Kongyap Hong. Dasar dara centil. Dia bukannya berhenti tetapi malah menyeringaikan mukanya kearah imam itu.

"Berhenti!" tiba2 Kongyap Hong membentak.

Bentakannya itu luar biasa kerasnya sehingga Hui Yan terkejut dan berhenti. Saat itu si imam sudah melesat kemukanya dan menimangnya dari ujung kaki sampai ke ubun2 kepala.

"Hai, apa-apaan engkau ini ?" tegur Hui Yan. yang merasa risih dipandang begitu rupa.

Koogyap Hong menghela napas, "Sayang, sayang, ah ..., sayang, sayang !"

Sudah tentu Hui Yap tak mengerti maksud si imam. Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, imam itu sudah berkata dulu, "Tetapi takkan menderita kesakitan. Begitu saatnya tiba, hanya seperti orang tidur saja."

"Hai, engkau mengingau apa?" tanya Hui Yan.

Tetapi Kongyap Hong tak menjawab. Sambil menggendong kedua tangannya dia terus ngeloyor.

"Seperti melihat setan saja, huh .. , ." dengus Hui Yan. Dia terus hendak melanjutkan perjalanan tetapi tiba2 terkilas dalam pikirannya. Imam itu seorang sakti. Kalau tiada sesuatu tak mungkin dia akan mengoceh begitu. Ya, tentu ada sesuatu. Apakah tidak seperti Pek lo-pohpoh yang mengatakan kalau dirinya Hui Yan terkena racun ganas ?

Ah, tetapi dia merasa tak ada suatu peroba-han dalam tubuhnya. dia lalu coba mengambil pernapasan beberapa kali. Ah, tidak apa-apa.

Saat itu si imam sudah jauh. kalau mau mendampratnya, toh percuma saja, malah akan menunda waktu. Tetapi dasar dia seorang dara centil, Daripada menyimpan dalam hati, lebih baik dia tumpahkan saja, Dia segera berteriak mendamprat sampai dua kali, setelah itu buru melanjutkan perjalanan lagi.

Selama dalam perjalanan karena ingin lekas tiba di Biau-ciang maka dia tak mau membuang buang waktu. Kecuali berhenti untuk bertanya jalan kepada orang atau bertanya tentang diri orang tua berpenyakitan itu, dia tak mau cari perkara.

Dalam waktu sebulan, berkat menempuh perjalanan dengan cepat dan non-stop, tibalah dia di jalan kecil yang akan mencapai perbatasan wilayah Hun-kwi. Jalan kecil itu merupakan jalan utama yang harus dilalui apabila hendak ke Biau-ciang.

Hui Yan sangat bernafsu sekali untuk lekas-lekas mencari orangtua berpenyakitan, Tetapi sepanjang jalan kearah baratdaya yang dilaluinya selama itu, tiapkali bertanya, tiada seorangpun yang pernah melihat orang tua yang dimaksudkan Hui Yan.

Hui Yan hampir putus asa Dia tak tahu dimanakah Koan Sam Yang menyembunyikan Kun Hiap. Bahkan dimana tempat kediaman Tok Liong cuncia yang hendak diangkat sebagai guru Koan Sam Yang itu, pun dia tidak tahu. Akhirnya dia terus melintas masuk ke daerah pegunungan di pedalaman.

Saat itu sudah senja, mentari mulai tenggelam disebelah barat. Sehari berjalan di daerah gunung itu, Hui Yan tak bertemu dengan seorang manusia. Sudah tentu hatinya pepat sekali. Kaku rasanya sehari suntuk tak bicara. Ingin dia menumpahkan kemendongkolannya dengan menghajar batu dan pohon. Ya, mengamuk itu memang obat mujarah untuk menumpahkan perasaan yang kheki.

Kuda BesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang