Bab. 26 (TAMAT)

1.5K 28 7
                                    

Setelah mengantar pandang ke arah kereta, Poa Ceng Cay pun memandang permukaan air lagi, seolah-olah dia hendak mencari penyelesalan atas pertanyaan2 yang menghuni dalam hatinya.

Tak berapa lama setelah meninggalkan perkampungan marga Poa, haripun mulai gelap tetapi Tong Wan Giok tetap tak mau berhenti. Baru setelah beberapa waktu dilihatnya lari kuda sudah mulai menurun dan bahkan dari mulutnya sudah mengeluarkan buih, barulah Tong Wan Giok hentikan kereta.

Sejak mendapat sambutan yang dingin dari Poa Ceng Cay tadi, pikiran TongWan Giok menjadi kacau, itulah sebabnya dia seperti tak menghiraukan apa2 lagi dan terus melarikan keretanya.

Pun setelah kereta berhenti dia masih bingung pikirnya, Sebenarnya waktu berhadapan dengan Wi Ki Hu, dia anggap omongan Wi Ki Hu itu hanya untuk mengulur waktu saja agar tidak segera dibunuh. Tetapi setelah bertemu dan mendengar kata2 Poa Ceng Cay, dh mulai gelisah. Apakah yang tersimpan dalam kamar rahasia di karnar tulis Wi Ki Hu itu?

Tengah dia masih melamun, tiba2 terdengarlah suara angin mendesis tajam dari sebuah benda yang melayang ke arahnya. Untung dia dapat bertindak cepat, menyambut benda itu dengan cambuk. 'Ujung cambuk berhasil melilit benda dan ketika diperiksa ternyata sebilah badik kecil yang panjangnya hanya tujuh dim.

"Hiap ji, awas hati2" serentak dia berseru memberi peringatan kepada puteranya.

Kun Hiap yang masih menemani Hui Yan di dalam kereta terkejut dan cepat melongok ke luar. Tetapi baru kepalanya menongol, wut, wut, dua batang badik telah melayang ke mukanya. Jelas yang melontarkan badik itu orangnya sama dengan yang. menyerang Tong Wan Giok tadi. Hanya bedanya, serangan badik kepada Kun Hiap itu lebih cepat dan lebih kuat.

Crei, crct .... Kun Hiap menyurut mundur dan kedua badik itupun menembus gerbong melayang ke luar.

"Kun Hiap, ada apa itu?" seru Hui Yan.

"Jangan kuatir, ada orang yang hendak mencelakai kita," kata Kun Hiap.

"Apakah bukan orang2 yang dikerahkan ji-ciku?"

"Entahlah, belum tahu," kata Kun Hiap.

Ia berseru kepada mamanya, "Ma, siapakah yang datang itu? Apakah kawanan pembunuh?"

Tetapi sampai diulang dua kall, ternyata dari atas kereta tak terdengar jawaban dari mamanya.

"Ma!" kembali Kun Hiap berteriak keras.

Tetapi sebagai jawaban dari sebelah kiri kereta terdengar suara orang tertawa dingin dan menyusul kereta bergoncang keras seperti kejatuhan benda berat.

Kun Hiap makin kaget. Dia hendak melo-ngok tetapi kuatir diserang badik.

"Kun Hiap, apakah engkau takut kalau saja terjadi apa-apa?" kata Hui Yan.

Kun Hiap mengertek gigi lalu brak , . . . ia menghantam jebul pintu dan memandang keluar. Apa yang dilihatnya saat itu, benar-benar menyayat hati. Mamanya telah terkapar di atas roda dengan tiga batang badik menancap pada dadanya. Darahnya mengucur deras Sepasang matanya masih melotot, menandakan kalau dia mati dengan penasaran.

Pandang mata Kun Hiap semua gelap dan hampir saja dia rubuh. Untung dia dapat memegang tiang pintu, krakkk . . . tanpa terasa tiang itu teluh diremasnya hancur.

Dia berusaha untuk menenangkan perasaan baru kemudian menangis, "Ma ... " Dia terus menerobos kamar dan menangis menelungkupi tutup mamanya.

Kun Hiap seorang anak yang berbakti kepada orang tua, Setelah tahu bagaimana asal usul dirinya, diam-diam dia sudah berjanji nanti sepulang di Wi-ke-chung dia hendak merawat mamanya dengan sepenuh hati. Siapa tahu ditengah jalan mamanya telah dibunuh orang.

Kuda BesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang