Bab. 21

1.2K 27 0
                                    

Hui Yan meletakkan posisi tubuh Kun Hiap di atas punggung keledai supaya nyaman. Melihat keadaan si anak muda yang lunglai tak sadarkan diri, diam2 Hui Yan mengeluh dalam hati.

Dia lantas naik dan duduk di belakang Kun Hiap. Walaupun membawa dua orang tetapi keledai itu tetap lincah sekali larinya Koan Sam Yang lari di samping keledai.

Memang selama dalam perjalanan, mereka banyak berjumpa dengan orang-orang persilatan. Orang2 persilatan itu tentu berhenti dan memberi hormat. Setelah Koan Sam Yang dan keledainya jauh, barulah mereka beramai bergerak lagi.

Tetapi ada juga yang tak begitu kenal, mereka pura tak tahu dan menyingkir. Sedang tokoh persilatan yang ternama terpaksa baru menyapa dengan tegur salam.

Setiap tokoh persilatan tahu sampai di mana kelihayan Koan Sam Yang itu, Sudah tentu mereka tak berani cari penyakit.

Selama menempuh perjalanan, bermula da-lam beberapa hari Koan Sam Yang masih cemas kalau orang tua berpenyakitan itu akan mengejar. Tetapi setelah melintasi sungai Hong-ho dan be-ngawan Tiangkang kemudian tiba di wilayah Kang-lam, waktunya malah hampir sebulan dan tetap tak melihat bayang orang tua itu, barulah hatinya longgar.

Pada hari itu menjelang sore mereka berja-lan di sepanjang tepi lembah sungai kecil sampai setengah li jauhnya, baru mereka melihat sebuah jembatan batu.

Setiap jembatan tentu dibawahnya terdapat anak sungai yang mengalirkan air. Hal itu memang umum di wilayah Kanglam. Koan Sam Yang menuju ke jempatan kecil itu, maksudnya hendak memberi minum keledainya.

Waktu tiba di tengah jembatan, kebetulan di bawah jembatan sedang melintas sebuah pera-hu. Tukang perahunya mendayung dengan ga-lah bambu. Tetapi entah bagaimana tiba2 galah bambu itu ditusukkan ke muka Hui Yan.

Selama sebulan ini, luka Hui Yanpun ma-kin sembuh. Tusukan galah bambu itu dengan mudah dapat dihindarinya. Tetapi dia terkejut ketika pada ujung galah itu terselip secarik kertas. Cepat sekali dia menyambar kertas itu dan galah itupun ditarik si tukang perahu ke bawah lagi.

Tukang perahu itu memakai topi nelayan yang berdaun lebar sehingga menutupi mukanya. Dan perahu melaju cepat sekali sehingga dalam beberapa kejab sudah membiluk pada tikungan dan lenyap dari pandang mata.

Pertama Hui Yan mengangkat muka. Dilihatnya Koan Sam Yang berjalan di depan dan tak mengetahui peristiwa itu. Maka dara itu baru be-rani membuka gulungan kertas itu. Sebuah surat yang berisi huruf2 kurus, berbunyi;

Menunggu di pohon itu tepi sungai kita nanti berjumpa.

Surat itu tanpa tanda tangan. Tetapi meli-hat bentuk tulisan itu, diam2 Hui Yan tergerak hatinya. Dia melepas pandang ke muka tetapi tukang perahu itu sudah lenyap.

Hui Yan menyimpan surat itu. Setelah melintasi jembatan dan makan malam," barulah dia berkata, "Koan tecu, silakan berjalan dulu, nanti kususul."

"Kenapa?" tanya Koan Sam Yang berpaling.

Hui Yan banting2 kaki, "anak perempuan yang sudah dewasa, kalau bilang ada perlu, papa mama sendiri juga tak dapat bertanya melilit. Perlu apa engkau mau tahu?"

Koan Sam Yang meringis. Selama sebulan dalam perjalanan itu memang Hui Yan bersikap baik sekali. Oleh karena itu kecurigaannya terhadap dara itupun mulai berkurang.

"Baik," dia mengangguk, "kutunggu di sebelah muka. Jangan terlalu lama."

"Tentu, masa aku tak dapat menyusul," kata Hui Yan.

Setelah Hui Yan turun dari keledai, baru Koan Sam Yang menceplak keledai dan membawa Kun Hiap melanjutkan perjalanan.

Setelah melihat Koan Sam Yang dengan keledainya sudah jauh, barulah Hui Yan bergegas menyusur tepi sungai dan tak berapa lama melihat sebatang pohon liu yang tumbuh di tepi sungai itu.

Kuda BesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang