Bab. 1

4.7K 63 3
                                    

Im Som, Ketua partai Thian-Sim-Kau yang bermarkas di gunung Bu-Ih-San.

Nyo Hwat, bergelar Cek-Kim-Sin-Liong atau Naga Emas Sakti, ketua Partai Hoa-San- Pay.

Yau Ki atau Siluman Cantik Pek Ing Ing, Tokoh wanita berlumuran segala dosa, kejahatan dan kecabulan.

Lui Toa Gwe, Kepala Desa Marga Kui, seorang tokoh persilatan ternama.

Thian-San-Sin-Kau atau Kera Sakti dari Gunung Thian San, Lo Pit Hi, seorang tokoh yang ugal-ugalan, gemar mempermainkan orang.

Mereka berkumpul dalam istana kuno, yang disebut istana biru, karena menerima sepucuk undangan......

NB : Kuda Besi sama dengan Kuda Hitam

Hah?

Empat wajah beku yang duduk mengitari meja yang diterangi dengan sebatang lilin itu, tampak dicengkam ketegangan.

Halilintar meringkik-ringkik menggetarkan bumi. Api lilinpun memantulkan cahaya bayangan yang bergoyang gontai.

Setiap kali kilat mencuatkan cahaya menerangi tempat kegelapan, keempat orang itu serempak mengangkat kepala memandang ke luar jendela.

Namun tiap kali, wajah merekapun hanya menyuram kecewa. Mereka tampak menanti kedatangan seseorang tetapi yang ditunggu tak kunjung tiba.

Diantara keempat tamu misterius itu, terdapat seorang wanita yang cantik. Usianya lebih kurang tiga puluh tahun.

Wanita itu mengenakan chang-ih (semacam baju panjang) dari sutera warna coklat muda. Wajah dan penampilannya memiliki, daya yang mempesona.

Kemudian seorang pria yang brewok. Di hadapannya seorang sasterawan setengah baya. Wajah sasterawan itu pucat seperti mayat sehingga menyeramkan orang.

Yang misterius sendiri adalah orang keempat. Bagaimana raut wajahnya tak diketahui karena dia mengenakan kain cadar atau kerudung muka. Tetapi yang jelas, tubuhnya pendek kecil seperti seorang anak.

Tak berapa lama kemudian hujanpun turun seperti dicurahkan dari langit. Tiba2 si brewok berbangkit dan berseru dengan suara menggeledek, "Menjemukan sekali, maaf, aku tak dapat menemani kalian lebih lama !"

Sambil berkata diapun sudah ayunkan langkah keluar. Tetapi baru dua langkah, dia sudah berhenti.

Saat itu hujan mencurah deras dan halilintar tak henti-hentinya mengamuk tetapi sayup2 terdengar suara derap kuda berlari pesat. Makin lama makin dekat.

"Katanya menjemukan, mengapa anda tak jadi pergi," tiba2 sasterawan berwajah pucat berseru dengan nada dingin.

Si brewok berputar tubuh. Tangannya melekat pada punggung kim to (golok emas) yang terselip di pinggangnya. Dipandangnya sasterawan itu dengan geram.

Sasterawan itu tertawa mengekeh. Secara seperti tak sengaja, kipas yang berada di tangannya ditebar-katupkan. Waktu menebar kipas itu seperti memantulkan bunyi mendering lembut menandakan bahwa kipas itu terbuat dari logam.

Tring . . . . si brewok mencabut golok kim-tonya yang tipis dan ditudingkan ke arah sasterawan.

"Siapakah Nyo toaya (tuan besar Nyo) ini? Masakan sudi duduk bersama manusia semacam mayat hidup!"

Tampak sasterawan itu seperti agak membungkukkan tubuh sambil membenturkan kipasnya ke ujung golok si brewok.

Si brewok mengendap tubuh dan menghentakkan goloknya ke atas. Melihat itu sasterawan berwajah pucatpun menekankan kipasnya lebih keras.

Baik wanita cantik maupun orang yang memakai kerudung muka, mengira tentu akan terjadi benturan keras antara golok dan kipas.

Tetapi suatu peristiwa yang tak terduga telah muncul. Pada saat golok dan kipas hanya terpaut beberapa inci, sekonyong-konyong pintu ruangan didobrak dan seseorang terus. menerobos masuk.

Kuda BesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang